Parade Pasukan Marinir TNI AL |
Dari sisi pertahanan keamanan, Singapura seperti sebuah tembok beton kokoh yang mengelilingi seputar pulaunya yang tidak lebih besar dari Jabotabek. Takdir Singapura adalah terjepit diantara dua jirannya yang serumpun, di utara Malaysia dan di sisi selatan Indonesia. Hari-hari takdir yang dimulai tanggal 9 Agustus 1965 itu mungkin yang menginspirasi pendiri sekaligus Perdana Menteri pertamanya Lee Kwan Yew untuk memperkuat pertahanannya karena pembelotannya pada Federasi Tanah Melayu dan sejarah Dwikora Indonesia. Lee berhasil membawa 3 berkah sekaligus bagi negeri pulau itu, kesejahteraan rakyatnya, kestabilan pemerintahan dan kekuatan arsenal angkatan bersenjatanya.
Maka bisa kita lihat saat ini keunggulan arsenal militernya baik AD, AL, dan AU. Dari sisi kuantitas personil, pasukan negeri pulau dengan populasi 5 juta penduduk-1 juta diantaranya adalah pekerja asing yang bekerja di berbagai sektor- jelas kalah jumlah dari jirannya, namun jika dilihat dari kualitas dan jumlah persenjataannya, orang akan ukur diri dan berhitung ulang jika hendak mengganggu Singapura. Dia akan seperti ribuan tawon yang menyengat kiri kanan jika ada yang berusaha mengganggu sarangnya.
Kalau ditanya secara waras dan kondisi normal apakah itu melalui metode jajak pendapat atau survey sebahagian besar warga Indonesia akan menjawab tidak ingin mengganggu negeri itu karena sudah menjadi salah satu “provinsi” tujuan wisata paling disenangi. Namun jika dilihat dari cara dan metode bertetangganya wajar saja kita merasa berang dengan keangkuhan cara pandang pemerintahannya. Salah satunya adalah melindungi para koruptor RI dengan ditelantarkannya alias tidak disepakatinya perjanjian ektradisi.
Menjawab cara pandang bertetangga yang arogan itu, metode pendekatan bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah membangun keseimbangan perkuatan alutsista. Statemen Menhan Purnomo yang menyatakan RI akan memperkuat skuadron tempurnya dengan 180 Sukhoi ternyata cukup menggentarkan rumah jiran sebelah. Lalu uji coba rudal Yakhont beberapa waktu lalu di selatan Selat Sunda serta instalasi sistem persenjataan rudal Yakhont dan C802 pada puluhan KRI mulai membuka mata dan bahasa tubuh Singapura. Langkah awal memulai kembali diplomasi perjanjian kerjasama pertahanan dan perjanjian ekstradisi yang disia-siakan sejak April 2007 dilakukan dengan kunjungan delegasi Singapura ke Jakarta akhir Juni 2011 dipimpin Menlu barunya. Bahasa diplomasinya adalah perkenalan dengan Menlu Singapura K.Shanmugam.
Singapura boleh berbangga untuk saat ini dengan keunggulan alutsistanya. Untuk kekuatan udaranya, mereka punya 24 F15 SG, 60 F16 C/D dan puluhan fighter lainnya. Angkatan lautnya juga punya 4 kapal selam dan puluhan kapal combatan berteknologi terkini, belum lagi arsenal darat yang sanggup melakukan pre emptive strike. Tapi Singapura hanyalah sebuah pulau, bahwa dia tidak bisa disamakan dengan Israel yang masih punya pintu keluar Laut Mediteranian. Singapura benar-benar terjepit. Singapura sangat kekurangan dalam ruang udara dan laut untuk melakukan latihan militer.
Alutsista Singapura yang seabreg itu terkendala oleh ruang udara dan laut yang sempit dan membuat dia sesak nafas. Singapura butuh udara segar untuk olahraga alutsistanya. Maka jangan heran 1 skuadron F16 ditempatkan di AS dan Australia. Thailand memberikan izin ruang udaranya dipakai sebagai arena latihan tempur AU Singapura. Dengan Indonesia juga pernah ada lokasi latihan penembakan pesawat tempur (Air Weapon Range) di Siabu Riau namun sekarang sudah diclose.
Mulai Juli 2005 Singapura dan Indonesia melakukan perundingan perjanjian kerjasama pertahanan (DCA) dan dijadikan satu paket dengan perjanjian ekstradisi. Inilah pintarnya Singapura, dia sengaja menjadikan dua hal yang berbeda jauh itu menjadi satu paket agar bernilai tawar tinggi terutama ketika mengajukan usulan daerah latihan tempur di perairan Natuna. Perjanjian ekstradisi adalah nilai tawarnya agar MTA (Military Training Area) di Area Bravo Natuna bisa dipergunakan sebagai arena latihan Singapura selama 6 bulan dalam setiap tahunnya.
Ini yang berlebihan, logikanya latihan tempur paling lama hanya 10 hari dan kalau mau dijadikan 4 kali setahun baru 40 hari. Kemudian daerah Bravo itu mencakup daerah yang cukup luas dan menjadi daerah penangkapan ikan para nelayan. Belum lagi pasal di perjanjian ekstradisi, orangnya si koruptor boleh dibawa pulang tapi duitnya harus tetap berdiam di Bank Singapura. Kesannya kok mendikte RI. Maka walau sudah disign oleh Menteri Pertahanan RI dan Singapura dan disaksikan oleh Presiden SBY dan PM Lee Hsien Loong tanggal 27 April 2007, kesepakatan kerjasama itu mati suri alias tak berguna.
Kesetaraan bertetangga, itu kalimat yang pas dikumandangkan pada Singapura. Banyak hal yang menjadi kredit point bagi RI untuk mulai memperlihatkan kesejatian dirinya. Jumlah pelancong RI adalah yang terbanyak membelanjakan uangnya di negara kota itu, IHSG Jakarta sudah jauh mengungguli pasar saham Singapura. Indonesia 2000 berbeda jauh dengan Indonesia 2011. Tidak boleh dilupakan adalah faktor kesetaraan alutsista dimana selama ini Indonesia selalu mengabaikan dan menelantarkan TNI. Perkuatan alutsista TNI yang mulai digebyar dan digelar untuk menuju MEF (Minimum Essential Force) adalah bagian dari menunjukkan kesejatian dan jati diri kita sebagai bangsa. Jika MEF itu dicapai dalam 2 kali renstra maka kekuatan alutsista kita akan jauh berada diatas Singapura.
Sekedar catatan, ujicoba roket Lapan di Baturaja dan Cianjur Selatan tahun lalu, mendapat perhatian besar dari intelijen Singapura. Roket ini adalah cikal bakal rudal surface to surface yang mampu mencapai jarak tembak 300 km. Artinya jika ada 200 rudal jenis ini disebar di Bintan dan Batam maka rumah tetangga sebelah menjadi susah tidur dan gelisah. Nah kegelisahan dia itu menjadi salah satu resep untuk melunakkan cara pandang bertetangga bagi sebuah rumah yang bernama Singapura.
Maksudnya mengapa harus melindungi koruptor RI dan hartanya. Katanya negara yang paling disiplin, katanya negara yang paling bersih, katanya negara yang paling toleran, tapi menerapkan standar ganda jika berhadapan dengan koruptor tetangganya. Bukankah perjanjian ekstradisi itu adalah bagian dari upaya kesetaraan dalam bertetangga. Bukankah cara bertetangga yang setara itu adalah memahami posisi diri untuk toleransi dan saling pengertian. Untuk lahan latihan milter Singapura, kita tak jual mahal kok, asal proporsional, terukur dan terjadwal, pasti akan kita berikan. Kita bisa memahami sesak nafasnya ruang latihan militer tetangga kita. Lalu dimana letak ketidaksetaraan itu. Salah satunya adalah karakter kita yang tidak percaya diri, sikap kita yang selalu mengkerdilkan diri sendiri dan menjadikan Singapura besar kepala.
Perkuatan alutsista yang direvolusikan saat ini untuk mencapai kekuatan MEF dan kekuatan deterence diniscayakan menjadi kekuatan bargaining agar kehidupan bertetangga dengan jiran-jiran sebelah menjadi setara, saling menghargai dan saling menghormati. Singapura harus menyadari bahwa RI akan segera mengambil alih keunggulan alutsista tidak lama lagi termasuk perkuatan ekonomi yang semakin diperhitungkan dunia. Kita mengingatkan bahwa belum terlambat bagi Singapura untuk merubah cara pandangnya dalam bertetangga dengan Indonesia, kesetaraan, itu saja permintaan kita sebelum akhirnya dalam batas-batas kesabaran itu kita akan mengatakan : Ini dadaku, mana dadamu !!.
****
Jagvane / 01 Juli 2011
No comments:
Post a Comment