Berita rencana pertandingan sepakbola FIFA Matchday antara Australia dan Argentina di China tanggal 15 Juni 2023 sangat menarik untuk diulas. Pertanyaannya mengapa harus di China, mengapa tidak di Australia. Seperti halnya pertandingan Indonesia dan Argentina pelaksanaannya di Jakarta tanggal 19 Juni 2023 nanti. Sesuatu yang lumrah dan disambut antusias masyarakat Indonesia. Bukankah hubungan China Australia saat ini sedang tidak harmonis. Bukankah diantara keduanya sedang saling sikut dalam kerjasama ekonomi. Meski tidak sampai pada pemutusan hubungan diplomatik.
Dalam perspektif kita Australia dan China sepertinya sedang mengikuti pola "Diplomasi Pingpong" yang pernah dilakukan AS dan China tahun 1971. Sebagaimana kita ketahui melalui cabang olahraga Tenis Meja, AS dan China kemudian membuka hubungan diplomatik tahun 1972. Episode jalan ceritanya diawali dengan Kejuaraan Tenis Meja level dunia di Nagoya Jepang tahun 1971. Atlet Tenis Meja AS dan China "tumben" saling menyapa dan berkomunikasi satu sama lain. Sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh China yang mengawasi ketat setiap atletnya. Kabar baik yang tak disangka terjadi. Ketika Kejuaraan Tenis Meja selesai dan para atlet bersiap menuju negara masing-masing, tiba-tiba Beijing memberi undangan kepada kontingen Tenis Meja AS untuk berkunjung ke China. Mampir dulu dong sebelum pulang, kira-kira begitu bahasa ajakannya.
Di China mereka disambut dan dijamu tuan rumah. Selidik punya selidik sebenarnya kedua negara sedang berupaya untuk menjalin hubungan baik. Saat itu China lagi retak aliansi persahabatannya dengan Uni Sovyet (sekarang Rusia). Jika ditandingkan dengan Uni Sovyet plus Pakta Warsawa, China jelas kalah segalanya waktu itu. Jadi Beijing perlu pendekatan dengan AS. Sementara dalam pandangan AS, China tidak bisa diabaikan apalagi dijauhkan. Dua-duanya saling membutuhkan tetapi belum bertemu dengan pintu masuk yang "berwibawa". Maka diplomasi Pingpong adalah cara yang dianggap paling elegan untuk saling senyum, saling sapa. Berlanjut dengan kunjungan Presiden Richard Nixon ke Beijing untuk membuka pintu hubungan diplomatik tahun 1972.
Metode ini menurut pandangan kita yang sedang mengemuka untuk mencairkan kebekuan hubungan China - Australia. Dua negara ini beseteru panas soal Taiwan dan Laut China Selatan (LCS). Tapi persoalan besarnya sebenarnya adalah hegemoni AS yang mulai terusik. Canberra seperti biasa selalu bersama AS dalam urusan geopolitik dan geostrategis dunia. Peredaan ketegangan di Indo Pasific seharusnya adalah "fardu ain", kewajiban semua rumah tangga negara di kawasan ini. Pertempuran hebat dan lama antara Rusia - Ukraina menjadi pelajaran berharga bagi negara manapun. Bahwa perang menghasilkan kehancuran dan penderitaan. Bahwa perang menghasilkan bencana kemanusiaan luluh lantak. Bahwa perang tidak menyelesaikan masalah.
Diplomasi sepakbola Australia - China bisa menjadi awal dari upaya merajut kesetaraan hubungan yang mengedepankan semangat humanisme universal. Teknisnya menikmati bersama kegembiraan di stadion. Yang bermain kesebelasan Argentina dan Australia, yang menikmati penonton China. Bahkan diniscayakan akan ada warga dan diplomat Australia yang hadir dan berteriak bersama. Ketika kita menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion maka semua atribut strata hilang sementara, bertukar nama menjadi kasta penonton.
Harapan kita dengan diplomasi sepakbola bisa berlanjut dengan saling sapa dalam bahasa diplomatik. Kita berharap ada siraman kesejukan. Australia bisa melunakkan pernyataan sikap dan kebulatan tekadnya yang selama ini mengedepankan diplomasi high profile berlapis paranoid terhadap China. Kemudian melapisnya dengan permusuhan militer. Membentuk pakta nuklir AUKUS bersama AS dan Inggris, membeli 6 kapal selam nuklir dan bermacam alutsista canggih lainnya. Australia membeli kapal selam nuklir tanpa unggah ungguh dengan tetangganya. Dan ini jelas melanggar traktat non proliferasi nuklir di kawasan ini. Indonesia memprotes keras.
Sementara China yang sukses mendamaikan Arab Saudi dan Iran punya potensi untuk memenuhi code of conduct pada wilayah yang diklaimnya. Code of conduct di LCS misalnya, ASEAN sudah menunggu lebih sepuluh tahun sampai sekarang. Sementara China masih sebatas pernyataan tok. Indonesia-Vietnam sudah berhasil menyelesaikan klaim tumpang tindih ZEE di Natuna akhir tahun lalu. China mestinya bisa mencontoh penyelesaian klaim dengan perundingan. Termasuk soal Taiwan yang mendesak, akan sangat bermartabat jika dapat diselesaikan melalui perundingan dan jalur diplomatik. Bukan show of force dengan mata melotot.
Tidak ada yang tidak mungkin, sebagaimana cairnya hubungan diplomatik AS - China tahun 1972 di era perang dingin melalui diplomasi Pingpong. Juga berdamainya Arab Saudi - Iran baru-baru ini berkat peran China merupakan sesuatu yang tak pernah diduga. Termasuk kembalinya Suriah yang sudah compang camping ke pangkuan Liga Arab. Kita lihat saja lanjutan cerita diplomasi sepakbola Argentina-Australia di China ini. Mission Impossible kata judul film intelligence action jilid satu sampai empat. Namun nyatanya tercapai juga misinya tuh. Maka menjadikan kawasan Indo Pasific sebagai zona damai dan sejahtera tentu bisa juga dong, walaupun judulnya Mission Impossible.
****
Jagarin Pane / 29 Mei 2023