Sejak era Trikora dan Dwikora pengadaan 42 jet tempur Rafale dari Perancis dan potensi mendapatkan 36 jet tempur mutakhir F15 ID dari AS merupakan yang terbesar. Setidaknya ada dua faktor yang menjadi pijakan mengapa kita sekonyong-konyong membeli alutsista dalam jumlah besar. Ada apa gerangan. Dan mengapa harus sekarang. Yang pertama karena kondisi sebagian alutsista TNI sudah uzur serentak dan yang kedua yang sangat mendesak adalah ancaman terhadap kedaulatan teritori kita sudah di depan mata. Silakan datang ke Natuna, suasana disana sudah siaga satu. Mata telinga kita yang bernama radar dan UAV bekerja non stop siang malam di dukung sejumlah patroli BAKAMLA, KRI, dan pesawat tempur mengamati gerak gerik curang si lidah naga.
Kita membeli 42 jet tempur Rafale edisi terakhir dari Perancis untuk menghadapi dinamika kawasan Laut China Selatan (LCS) yang selalu panas dingin dengan durasi terus menerus dan jangka panjang. Pengadaan 42 jet tempur ini adalah bagian dari diplomasi militer Indonesia karena dengan cara ini gaung informasi akan menggema ke segala arah. Rafale dan F15 Id sangat pantas menjadi kekuatan strategis TNI di garda terdepan, di benteng kehormatan teritori Natuna. Lantas bagaimana dengan Sukhoi SU27/30 kita. Rafale, F15 dan Sukhoi punya peran masing-masing. Arahnya ke depan Rafale dan F15 yang akan menjadi lawan tanding perusuh LCS. Sebab Sukhoi kita "satu perguruan" dengan pihak sono, bahkan dia sudah punya SU35.
Saat ini kita memiliki 28 jet tempur Hawk buatan Inggris yang dibeli tahun 90an, dibagi menjadi 2 skadron yaitu skadron Elang Khatulistiwa Pontianak dan skadron Black Panther di Pekanbaru. Waktu beli jumlahnya 40 unit. Karakter jet tempur ini bukan untuk superioritas udara karena kecepatan dan kemampuan manuvernya terbatas untuk land attact. Usia pakai sudah mendekati 30 tahun, saat ini secara umur teknis dan teknologi tidak mempunyai kekuatan detterens. Kekuatan pukul TNI AU saat ini bertumpu pada 33 jet tempur F16 dan 16 jet tempur Sukhoi tergabung dalam 3 skadron tempur strategis, Iswahyudi AFB (F16), Hasanuddin AFB (Sukhoi) dan Roesmin Nuryadin AFB (F16).
Sementara itu kekuatan tempur angkatan laut Indonesia sebagian diisi KRI usia lanjut. 5 fregat "Ahmad Yani Class" sudah berusia 55 tahun, masih aktif sekarang. Sudah selayaknya dipurnatugaskan, maka Menhan Prabowo mempersiapkan penggantinya yaitu 6 heavy fregate "Fremm Class" dari Italia. Meski belum kontrak efektif namun skenario teknis sudah disiapkan. Masa pembuatan Fremm Class membutuhkan durasi diatas 5 tahun padahal saat ini LCS demam terus. Maka disiapkan 2 fregate "Maestrale Class" yang dipakai AL Italia untuk bisa secepatnya dialihkan menjadi asset TNI AL sembari menunggu Fremm Class selesai dibangun. Artinya saat ini kita memang sangat perlu tambahan kapal perang fregate untuk sinergi kawal di Laut Natuna Utara bergantian dengan 2 KRI "Martadinata Class" dan 3 KRI "Bung Tomo Class".
Sudah saatnya kita mempunyai kekuatan AL dan AU yang setara dengan luas wilayah yang kita miliki. Saat ini secara kuantitas TNI AL mempunyai sekitar 170 KRI berbagai jenis namun yang berkualifikasi striking force hanya 30 an KRI. Dan jika ditandingkan dengan kekuatan yang mengacak-acak LCS jelas kalah gahar. Itulah sebabnya rencana besar Menteri Pertahanan yang out of the box harus bisa kita pahami secara jernih. Angkatan Laut Indonesia harus mempunyai kapal perang ukuran besar, berteknologi terkini termasuk kapal selam mutakhir. Prediksi ke depan TNI AL akan memiliki 50-60 KRI striking force canggih, 16 diantaranya kapal perang heavy fregate. Sementara untuk TNI AU peta jalannya sudah semakin terang benderang dengan jet tempur pemukul strategis Rafale, F15 Id, F16, Sukhoi dan IFX. Sangat pantas Indonesia mempunyai kekuatan AL dan AU yang sebanding dengan luasnya wilayah perairan dan udara negeri kepulauan ini.
Diplomasi militer Indonesia dengan penguatan militer yang sangat hebat di masa Trikora telah membuktikan kekuatan tawar di PBB. Dari pantauan pesawat mata-mata AS yang berbasis di Clark Filipina terdapat konsentrasi armada kapal perang dan kapal selam Indonesia di Teluk Peleng. Juga sebaran pesawat tempur Mig 19, Mig 21 dan pesawat pengebom Tupolev TU-16 di pangkalan aju. Presiden AS John F Kennedy membujuk Belanda agar menyerahkan Irian Barat melalui jalur terhormat PBB sebab sangat dimungkinkan terjadi perang terbuka antara Indonesia dan Belanda. Akhirnya memang terbukti melalui gelar kekuatan militer besar-besaran Belanda angkat kaki dari bumi cenderawasih.
Maka ketika saat ini kita harus memperkuat benteng teritori kita di Natuna tidak lain adalah untuk menjalankan diplomasi militer dengan kekuatan sendiri. Meski ada pakta AUKUS untuk menghadang China di Indo Pasifik, perkuatan militer kita adalah untuk kehormatan dan harga diri teritori NKRI. Ketika Semenanjung Crimea di Ukraina dicaplok Rusia tahun 2014 nyatanya tidak ada upaya penyelamatan dari NATO dan AS. Bahkan ketika saat ini Rusia sedang bersiap menyerbu Ukraina karena ulahnya yang hendak masuk NATO sekaligus mau mengucilkan Rusia, ternyata NATO dan AS mati angin dengan pergelaran ratusan ribu pasukan Rusia di sepanjang perbatasan dengan Ukraina. Pelajarannya adalah Natuna harus kita pertahankan dengan kekuatan sendiri, demi harga diri dan eksistensi NKRI. Artinya kita harus menghadirkan sejumlah alutsista gahar mulai dari sekarang.
****
Jagarin Pane / 19 Februari 2022