Netizen forum militer Indonesia sesungguhnya tidak begitu peduli soal isian dan merek alutsista strategis matra udara. Yang penting segera terisi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Itu sebabnya kita ikut mengkritisi mengapa begitu bertele-telenya proses pengadaan jet tempur Sukhoi SU35 buatan Rusia beberapa tahun yang lalu. Anggaran sudah disediakan. Mula-mula disebut akan beli 8 SU35 lalu diumumkan lagi akan beli 11 SU35. Tapi tetap slow motion menuju kontrak efektif. Sampai akhirnya berlaku UU CAATSA dari AS sebagai "hukuman" kepada Rusia atas aneksasi semenanjung Crimea milik Ukraina.
Akhirnya jet tempur tangguh Sukhoi SU35 batal kita miliki secara resmi dua hari lalu, sebagaimana dijelaskan KSAU. Dengan demikian hilang terbuang durasi waktu antara pesan dan datang pembelian alutsista gahar ini selama 5 tahun terakhir. Kita kembali ke titik nol. Harapan untuk mendapatkan SU35 pupus sudah padahal infrastruktur skadron jet tempur tulang punggung ini sudah disiapkan. Bahkan 3 jet tempur Sukhoi SU27/30 dari Hasanuddin AFB telah diserahterimakan sebagai isian Skadron 14 Iswahyudi AFB. Semua dalam rangka mengisi kekosongan jam terbang pilot yang sudah disiapkan untuk kehadiran SU35. Ternyata yang dirindukan tak pernah datang.
Ada kabar baik seiring dengan pupusnya asa mendapatkan SU35. Kontrak efektif pengadaan jet tempur dual engine Rafale made in Perancis edisi terkini sudah diambang pintu. Kabar yang berhembus jumlahnya kemungkinan dikurangi atau dibagi 2 batch. Batch satu untuk 12-18 Rafale, batch berikutnya juga 12-18 Rafale. Tidak masalah, yang penting "peluk dulu lalu ajak akad nikah". Karena kita sudah kehilangan waktu 5 tahun akibat Sukhoi SU35 tidak jadi datang. Ditambah lagi jika kontrak efektif Rafale diteken sebentar lagi, masih perlu durasi waktu 5-6 tahun menunggu kedatangannya. Karena kita pesan yang edisi terkini, jadi harus antri sampai tahun 2027 paling cepat. Jadi ada durasi 10 tahun untuk mendapatkan jet tempur strategis dihitung sejak tahun 2017.
Demikian juga dengan jet tempur F15 Eagle II dari AS. Kedatangan Menlu AS belum lama ini salah satunya untuk memastikan pinangan Indonesia disetujui. Meskipun begitu masih panjang proses yang harus dilalui untuk menghadirkannya di tanah air dengan sejumlah syarat. Jet tempur ini jika sudah datang dan berduet dengan Rafale akan menjadi kekuatan pengawal yang bertaring untuk berhadapan dengan jet tempur China. Jika yang dihadapkan adalah jet tempur Sukhoi SU35 maka China punya kartu truft pesawat jenis ini. Dan China pasti tahu jeroannya. Artinya tidak pas juga jika jet tempur Sukhoi SU35 kita yang batal itu ditandingkan dengan merek yang sama dengan punya China.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kemenhan. Keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendalanya. Sementara kita sangat membutuhkan alutsista strategis matra laut dan udara secepatnya. Harus ada prioritas untuk mendapatkannya meski jumlah dikurangi. Misalnya perolehan jet tempur Rafale. Tidak mengapa. Yang penting harus ada kontrak efektif untuk memastikan proses pembuatannya. Juga kontrak efektif kapal perang heavy frigate selain Iver Class. Tidak perlu sekaligus diteken semua. Tahap pertama, cukup 2 unit dulu dari Fincantieri. Yang penting pasti dan pasti itu penting sebagai unjuk kinerja.
Termasuk apakah dimungkinkan jika kita dipinjami dulu atau sewa 4-6 jet tempur Rafale untuk ditempatkan di Supadio AFB atau Natuna. Tinggal lobby pemerintah Perancis karena skema pengadaan Rafale adalah G to G, antar pemerintah. Hitung-hitung untuk memfamiliarkan atau membiasakan menggunakan jet tempur Rafale yang lincah itu. Masih lama menunggu sampai tahun 2027. Sementara dinamika Laut China Selatan (LCS) dipastikan akan semakin semrawut tahun-tahun mendatang kecuali jika China tobat dan sadar diri. Tapi jelas tidak mungkin. Ambisi penguasaan teritori China adalah untuk menguasai potensi sumber daya energi fosil yang ada di LCS demi masa depan rakyatnya yang berjumlah milyaran.
Demi marwah kedaulatan teritori, Indonesia harus mempercepat proses pengadaan alutsista. Tidak bisa tidak. Disamping terus menerus melakukan diplomasi cerdas dengan basis kerjasama ekonomi yang simbiosis mutualistis. Bukankah dunia kita saat ini sudah saling ketergantungan satu sama lain. Tidak bisa kita mengandalkan egoisme bernegara di dunia yang sudah satu networking ini. Maka diplomasi yang terus menerus akan menjadi jembatan silaturrahim antarnegara, salah satunya untuk mengurangi ketegangan di kawasan.
Memperkuat pertahanan negeri juga merupakan bagian dari strategi diplomasi. Dan saat ini kita sangat menantikan kehadiran sejumlah jet tempur fighter, kapal perang kelas berat, kapal selam gahar, berbagai jenis peluru kendali jarak sedang dan jauh untuk mengawal dan mempertahankan teritori kita. Ancaman terhadap kedaulatan teritori sudah nyata, di depan mata dan terang benderang, bukan lagi cerita fiksi. Siapa tahu tiba-tiba saja cuaca di LCS menjadi ekstrim dengan gelombang kejut berkarakter tsunami. Kita harus siap dengan kondisi ekstrim itu. Dan caranya harus mempunyai alutsista gahar secepatnya.
****
Jagarin Pane / 27 Desember 2021