Dimana letak potensi konflik terbesar dan terhebat di dunia dengan durasi jangka panjang, jawabnya adalah Indo Pasifik. Ada tiga hotspot yang menjadi titik waspada dan titik awas yaitu Panmunjom Korea, Selat Taiwan dan Laut China Selatan (LCS). Dan diantara tiga titik panas itu yang paling panas adalah LCS. Dan salah satu yang terbaru dari gesekan di LCS adalah masuknya kapal survei bawah air China ke ZEE Natuna Indonesia dengan pengawalan beberapa kapal China Coast Guard (CCG) dan kapal perangnya. Ini adalah untuk pertama kalinya kapal survei bawah air China masuk wilayah ZEE Indonesia dan melakukan aktivitas pemetaan bawah laut hampir sebulan sepanjang September 2021.
Apa yang menjadi sebab, karena di wilayah ZEE itu sedang dilakukan ekplorasi perminyakan oleh perusahaan minyak Inggris dan Rusia. China merasa dia juga punya hak untuk melakukan hal yang sama di tempat yang sama. Maka kapal intelijen bawah air Haiyang Dizhi 10 dikerahkan dengan dikawal kapal CCG dan kapal perang. Indonesia segera merespon dengan mengirim 3 kapal BAKAMLA dan 6 KRI untuk memastikan ekplorasi gas dapat berjalan tanpa gangguan. Selama sebulan itu beberapa KRI kita mengawal proses eksplorasi dengan dukungan kapal tanker logistik KRI Bontang 907 supaya KRI tidak kembali ke pangkalan AL untuk bekal ulang.
Sesungguhnya kita sedang mengelola situasi ngeri-ngeri sedap dinamika perseteruan jangka panjang di halaman depan rumah kita. Bagaimana kita bisa memastikan wilayah sah kita dapat terjaga dengan baik tanpa harus bermusuhan dengan negara yang sangat bernafsu dengan penguasaan wilayah kaya sumber energi. Bagaimana kemudian kita juga harus mengelola kehadiran Pakta AUKUS karena kita ada di tengah pusaran kedua blok militer raksasa itu yang punya kemampuan ofensif militer secara besar-besaran. Ini merupakan pekerjaan besar yang menyita waktu dan perhatian extra ordinary dari Kemenlu dan Kemenhan. Keduanya harus bersinergi kuat untuk menjaga situasi dan kondisi yang tetap kondusif. Termasuk "bergandengan tangan" dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam, sesuatu yang belum terlihat kompak bersama. Ke empat negara ASEAN ini terkesan jalan sendiri-sendiri.
Kehadiran AUKUS adalah keharusan bagi pihak yang terancam supremasi dan hegemoninya. Dan dalam perspektif militer untuk melawan libido ekspansi China yang tidak mematuhi kaidah hukum laut internasional, AUKUS adalah jawabannya. Nah, untuk menjaga ritme perdamaian maka salah satu model diplomasi militernya adalah bersiaplah untuk perang. Perkuatlah kemampuan militer. Lahirnya Aliansi AUKUS ternyata memecah belah tatanan diplomasi sejumlah negara ASEAN. Indonesia dan Malaysia berpandangan relatif sama, mengkritisi AUKUS dan menjadi faktor pemicu perlombaan persenjataan. Singapura dan Filipina sebaliknya mendukung kehadiran dan prospek AUKUS, sementara Vietnam lebih memilih diam.
Bagaimanapun AUKUS sudah menjadi takdir sejarah yang harus dihadapi. AUKUS yang sedang dikukus alias dipanasi oleh tiga negara "serumpun" Australia, Inggris dan AS, harus bisa kita bungkus dengan kecerdasan diplomasi. Caranya dengan mengedepankan dialog, diskusi, silaturrahim dan negosiasi yang terus menerus. Tidak boleh lelah, jangan pula lengah. Indonesia punya kesempatan besar diantara negara ASEAN lainnya karena posisi netralitasnya lebih mengemuka. Dengan China kita berkawan baik, investasi China banyak di Indonesia. Demikian juga dengan Australia, AS dan Inggris. Dengan Inggris kita baru teken kontrak lisensi pembangunan 2 kapal perang heavy fregate. Pengadaan ratusan peluru kendali Starstreak untuk batalyon Arhanud TNI AD juga dari Inggris.
Diantara berbagai jenis konflik yang terjadi setelah bubarnya Pakta Warsawa 31 Maret 1991 yang dikenal dengan berakhirnya perang dingin, konflik di Indo Pasifik adalah yang terbesar, kolosal, mengkhawatirkan dan mencemaskan. Konflik di tiga hotspot Indo Pasifik yang berkorelasi satu sama lain yang bermuara pada musuh bersama China adalah jawaban mengapa AUKUS dikukus. Termasuk aliansi QUAD yang melibatkan India, Australia, Jepang dan AS. Semuanya ditujukan untuk mengurung dan "membungkus" musuh bersama, China.
Perjalanan menjaga iklim demam berkepanjangan di LCS bagi Indonesia adalah kewajiban diplomatik yang penuh tantangan dan peluang, sekaligus mengasah kecerdasan diplomasi. Indonesia harus bisa membungkus potensi konflik paling mematikan ini dengan tetap teguh berdiri ditengah, tidak berpihak ke salah satu pihak. Soal ajakan untuk berpihak pasti ada, bahkan konon katanya untuk bisa mendapatkan 24 jet tempur F15 Eagle syarat tambahannya adalah agar menjauh dari "sono".
Lucu juga ya, kita membeli alutsista dari AS sebenarnya untuk meyeimbangkan surplus neraca perdagangan karena kita mendapat fasilitas GSP (General Specialized Preference). Fasilitas keringanan bea masuk ekspor kita ke AS yang sudah puluhan tahun itu membuat surplus neraca perdagangan untuk kita. Jadi kalau tambah lagi persyaratannya mending Rafalenya Perancis yang diperbanyak. Apalagi kita sudah mengalah untuk "menunda tanpa batas" pesanan 11 jet tempur Sukhoi SU 35 dari Rusia karena menuruti CAATSA Paman Sam. Jangan mau didikte.
Kewajiban negara yang sangat penting dan mutlak adalah memperkuat otot militer dengan mendatangkan berbagai jenis alutsista strategis dan gahar. Adalah sebuah kepantasan kita bisa mendatangkan puluhan jet tempur, belasan kapal perang heavy fregate, kapal selam, UAV, peluru kendali dan lain-lain serta mempunyai sistem manajemen pertempuran modern terintegrasi yang dikenal dengan network centric warfare. Itu semua sedang kita lakukan agar kita tidak dianggap anak bawang oleh pengklaim ZEE lalu seenaknya masuk pagar rumah tanpa kulonuwun. Kenapa harus ke dia, ya karena dia yang memulai cari gara-gara.
****
Jagarin Pane / 3 Oktober 2021