Diantara hotspot konflik di Indo Pasifik yang lebih siap bertarung adalah Taiwan versus China dan Korea Selatan lawan saudara sekandung Korea Utara. Konflik Taiwan-China sudah berlangsung sejak China komunis mengambil alih China daratan tahun 1948. Sementara perseteruan dua saudara sekandung Korea adalah korban sejarah perseteruan blok barat dan blok timur yang beradu hegemoni di tahun limapuluhan. Garis pemisah di Panmunjom adalah demarkasi gencatan senjata paling lama sedunia sejak 1953. Artinya secara teknis kedua Korea masih dalam kondisi perang to be continued.
Klaim China yang cari gara-gara di Laut China Selatan (LCS) dengan membentangkan nine dash line sepuluh tahun terakhir dan menggila sejak lima tahun terakhir membuat beberapa negara ASEAN tersentak. ASEAN yang selama lebih setengah abad ini mampu memupuk kehidupan di lingkungannya secara harmonis dan manis, tiba-tiba harus menerima gelombang panas akibat semburan api si lidah naga. Dan semburan itu diniscayakan menjadi "api abadi" demam berkepanjangan di halaman rumah besar ASEAN termasuk Indonesia.
Bedanya dengan Taiwan dan Korsel yang sudah ready for war, siap gelut neh, beberapa negara ASEAN yang berkonflik dengan China di LCS belum siap perang bahkan masih kedodoran untuk mengawal teritori hak berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di LCS. Ini salah satu sebab mengapa kemudian China begitu arogan di LCS. Bandingkan dengan ketika dia mencoba menggertak Taiwan, negeri formosa itu punya daya kejut dan daya sengat mirip sarang tawon. Berani masuk gua gebuk lu, kata si cabe rawit Taiwan. Dibelakangnya ada Uak Sam yang gagah perkasa sambil melipat tangan di dada.
Di LCS, mau menjalankan doktrin berani masuk digebuk, alat gebuknya belum setara dengan sarang tawonnya Taiwan dan Korsel. Belum ada nilai gentarnya dan ini dialami Vietnam, Filipina, Malaysia. sehingga kapal-kapal Coast Guard China (CGC) dengan dukungan kapal perangnya yang besar leluasa hilir mudik dan menduduki secara permanen beberapa pulau atol di Spratly dan Paracel. Beberapa diantaranya sudah menjadi pangkalan militer China. Di Natuna, Indonesia tidak mau kalah gertak. Jika ada CGC nyelonong di ZEE Natuna kita suruh keluar dengan kapal-kapal BAKAMLA dan KRI. Termasuk yang terakhir eksplorasi perusahaan minyak Rusia di ZEE Natuna yang dibayangi CGC kita bayangi juga dengan KRI Bung Tomo 357 dan sejumlah kapal BAKAMLA.
AS dan sekutunya di Eropa bersama Australia dan Jepang sudah memahami ketimpangan perbandingan kekuatan militer antara gajah China dan pelanduk beberapa negara ASEAN. Bahkan jika seluruh negara ASEAN digabung kekuatan militernya dengan China belum setara. Gak nendang tuh, kata Uak Panda. Makanya mereka silih berganti berpatroli di LCS. Armada kapal perang AS, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang hilir mudik meramaikan show of force lalulintas militer di LCS. Ini yang disebut strategi membeli waktu dengan berupaya menimbulkan efek gentar kepada pihak penyembur api klaim.
Indonesia saat ini sedang bergegas untuk memperkuat taring militernya. Skenario besar Menhan Prabowo dengan membeli berbagai jenis alutsista strategis dalam jumlah besar juga bagian dari strategi membeli waktu. Pihak sono dengan kacamata intelijen militernya tentu sudah lebih dulu tahu bahwa kita sedang memproses pengadaan 16 kapal perang heavy fregate, 4 kapal selam, 36 jet tempur Rafale, 12 jet tempur F15, sejumlah UCAV, pesawat early warning, radar GCI, helikopter, peluru kendali, dan lain-lain. Juga Filipina, Vietnam sedang berupaya memperkuat taji militernya dalam skala besar. Sementara Malaysia sejauh ini belum memperlihatkan kesungguhan dalam perkuatan militernya. Bisa jadi karena belum stabil jalannya pemerintahan negeri jiran itu.
Strategi membeli waktu secara militer sesungguhnya untuk mencegah agar waktu tidak terbeli oleh pihak lawan. Sembari beberapa negara ASEAN sedang membangun sarang tawon maka armada AS dan sekutunya bergantian mengawal perairan LCS sekaligus latihan militer bersama. Demikian juga jika beberapa sarang tawon ASEAN sudah jadi tetaplah berada dalam kawalan militer AS dan sekutunya. Kekuatan militer berkarakter sarang tawon juga dalam rangka strategi membeli waktu. Sarang tawon bisa saja disembur dan diobrak abrik si lidah naga tapi setidaknya sudah bisa menyengat dan menggebuk sambil menunggu kekuatan yang lebih perkasa dan hebat dari AS dan sekutunya.
Mengapa harus ada strategi membeli waktu dalam konflik di LCS, karena China unggul dalam radius jarak dan logistik militer sehingga dia unggul dalam ofensif militer secara dadakan. Latihan militer skala besar Indonesia-AS di Baturaja Sumsel, Amborawang Kaltim dan Makalisung Sulut belum lama ini, juga latihan manuver udara antara F16 TNI AU dengan pesawat pengebom nuklir strategis B52 AS di Balikpapan barusan, termasuk bagian dari strategi membeli waktu sekaligus skenario counter attack. Maksudnya jika memang China mampu mengobrak abrik pertahanan sarang tawon di Natuna maka latihan militer yang kemarin itu adalah skenario serangan balasan yang cukup dahsyat buat yang buat gara-gara. Anda jual kami beli.
****
Jagarin Pane / 4 September 2021