Kesabaran China
selama setengah abad untuk perlahan tapi pasti menguasai perairan Laut China
Selatan (LCS) sudah menampakkan hasil. Perairan strategis dan kaya sumber
energi fosil secara de facto sudah dalam genggaman China. Anjing menggonggong
kafilah berlalu, begitu kira-kira bunyi nine dash line nya.
Meski AS
menentang keras aneksasi halus terhadap LCS, nyatanya sudah terbangun tujuh
pangkalan militer China di Paracel dan Spratly. Meski negara-negara ASEAN plus
Australia plus Jepang memprotes keras berkali-kali, nyatanya kawasan perairan
itu sudah masuk wilayah distrik Xisha dan Nansha China sejak April 2020.
Bahkan
mulai Mei 2020 ini China melarang aktivitas apapun di perairan Paracel. Yang
terkena pukulan jelas Vietnam karena perairan itu ada di halaman depan ibukota
Hanoi. Kemudian dalam waktu dekat China juga akan menerapkan zona identifikasi
pertahanan udara yang dikenal dengan istilah ADIZ (Air Defence Indentification
Zone).
Salah satu pangkalan militer China di LCS |
Yang
paling sial tentu Malaysia. Sebab dengan penguasaan LCS dan ADIZ otomatis
terputuslah teritori Sabah dan Sarawak dari Semenanjung Malaysia. Belum lagi di
selatan LCS ada pangkalan militer Indonesia di Natuna. Kapal perang dan jet
tempur Indonesia secara rutin patroli di Natuna. Pak Cik pasti pusing tujuh
keliling.
Yang
paling tegang tentu Vietnam. Berhadapan langsung head to head dengan Hainan dan
Teluk Tonkin yang menjadi home base terbesar di teater selatan angkatan laut
dan udara China. Kemudian ada Paracel di depan hidung Vietnam. Apalagi ternyata
di halaman ZEE sendiri tidak boleh ada aktivitas nelayan dan eksplorasi minyak.
Paman Nguyen pasti nyesek tuh.
Yang
paling gondok tentu Filipina. Kapal perangnya sempat dikunci dengan radar
tembakan dari kapal perang China April lalu. Sejatinya insiden di Spratly itu
todongan bersenjata paling serius yang dialami angkatan laut Filipina. Dan
China tidak peduli dan terus mengintimidasi. Tuan Duterte pasang muka marah.
Lantas,
bagaimana dengan Natuna. Siapkah kita menghadapi semburan api lidah naga yang
semakin panas. Cukupkah hanya dengan nota protes diplomatik berulang kali.
Cukupkah dengan menggelar operasi gugus tempur laut dan udara. Jawabnya tidak.
Sekuat
apapun militer kita tetap "gak nendang" di mata China. Bahkan semua
kekuatan militer negara ASEAN digabung belum mampu menyeimbangkan kekuatan
militer China. Itu China yang sekarang. Bagaimana dengan China sepuluh tahun
lagi. Jawabnya tak terbendung.
Diponegoro Class, bagian dari armada TNI AL yang canggih |
Lantas
bisakah mengandalkan AS. Tidak menjamin. Meskipun saat ini AS mengerahkan
sejumlah kapal tempur kelas berat ke LCS untuk menekan China. Juga armada kapal
selam nuklir yang ada di Pasifik, berikut sejumlah pesawat pengebom nuklir B1B
Lancer.
Sebab ada
tiga hot spot di dunia ini yang dijaga ketat oleh AS. Yaitu kawasan Asia Timur,
kawasan Teluk Persia dan kawasan Mediteranian. Belum lagi kehadiran armada AS
untuk Amerika Latin. Jadi AS tidak fokus ke LCS. Walaupun saat ini AS sedang
unjuk taring dengan mengerahkan kapal selam nuklir dan pesawat pengebom nuklir
ke LCS.
Oleh
sebab itu perlu strategi besar dan cerdas menghadapi China. Harus ada inisiatif
dari sejumlah negara di kawasan untuk menyatukan sikap. Dan ini yang sampai
sekarang tidak muncul-muncul. Perlu mengikutsertakan India, Australia, Jepang
dan AS masuk dalam aliansi pertahanan bersama negara ASEAN.
Harus ada
inisiatornya. Harus ada diplomasi ulung yang mampu mengajak peran bersama. Ini
kerja besar dan berat. Yang jelas AS tidak mau bermain sendirian menghadapi
China. Harus keroyokan, itu model AS. Apalagi ini China, raksasa yang sedang
menggeliat kuat.
Maka
prediksi kita kedepan adalah akan tercipta dua blok baru. Dan terjadi perang
dingin sebagaimana era tahun delapan puluhan antara NATO dan Pakta Warsawa. LCS
menjadi area titik panas yang rawan meledak. Dan itu ada di depan mata kita, di
halaman depan rumah kita.
Maka kita
harus bersiap untuk kondisi terburuk. Persiapannya seperti makna Si Vis Pacem
Parabellum. Jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Dan siapkanlah perkuatan
alutsista yang setara. Dengan durasi waktu yang singkat. Jangan lagi ngomong
tigapuluh tahun tidak akan ada musuh.
Pada tataran diplomasi
harus ada model persekutuan baru untuk membendung ekspansi China. Tidak bisa
ditunda lagi. Sebab kalau masih memakai model konvensional seperti sekarang
ini, sendiri-sendiri berteriak, kirim nota protes mengecam keras, tidak akan berpengaruh bagi China. Sekali lagi
anjing menggonggong kafilah berlalu. Emang gua pikirin, katanya.💪💪ambil muter LCS.
****
Jagarin Pane/ 17 Mei 2020
****
Jagarin Pane/ 17 Mei 2020