Selat Johor yang memisahkan dua negara jiran, Malaysia dan Singapura, hari-hari belakangan
ini sedang memperlihatkan cuaca tidak bersahabat. Sebabnya tentu soal batas
teritori air dan udara yang saling klaim sehubungan dengan perluasan pelabuhan
masing-masing negara.
Singapura sedang memperluas pelabuhan Tuas melalui reklamasi laut sepanjang
10 km dan akan beroperasi tahun 2020 nanti.
Khawatir tersaingi Malaysia juga bergegas memperluas pelabuhan Johor
Baru yang sangat dekat dengan pelabuhan Tuas. Malaysia juga berencana mengambil
alih kontrol penerbangan di Johor dari Singapura.
Singapura, negeri mungil paling sejahtera di ASEAN dan punya koleksi
alutsista terbaik di kawasan ini kemudian memperlihatkan taring kekuatannya
dengan mengerahkan sejumlah kapal perang, jet tempur, helikopter apache dan UAV
ke perairan sengketa yang tidak terlalu luas itu. Sementara Malaysia cuek aja
melewati perairan yang sedang dipersengketakan itu bahkan menaruh kapal MV
Polaris untuk berdiam diri.
Kedua negara juga pernah bersengketa soal pulau Batu Putih (Pedra Branca)
yang berada di pertemuan selat Singapura dan Laut Cina Selatan. Secara historis
pulau kecil itu ada dalam wilayah kesultanan Johor. Namun ketika diuji di
sidang Mahkamah Internasional tahun 2008 diputuskan pulau itu milik Singapura.
Perseteruan antar jiran adalah sesuatu yang lumrah terjadi, sebagaimana
dulu ketika Ambalat diributkan antara Malaysia dan Indonesia. Malaysia yang
merasa diatas angin karena bisa mendapatkan Sipadan dan Ligitan melalui sidang
Mahkamah Internasional tahun 2003 lalu melanjutkan klaim atas Ambalat dengan
mengerahkan sejumlah kapal perang.
Waktu itu mereka tidak menunjukkan sikap sebagai sahabat ASEAN dan
mengerahkan sejumlah kapal perang ke perairan Ambalat. Jujur saja waktu itu
kekuatan udara mereka mengungguli kita yang sedang terpuruk ditambah lagi
dengan kehadiran kapal selam barunya yang berpangkalan di Teluk Sepanggar Sabah.
Tetapi waktu itu kita hadapi Malaysia dengan kekuatan militer juga sembari
bertekad memperkuat dan memodernisasi militer dalam sebuah kurikulum strategis
yang dikenal dengan MEF (Minimum Essential Force). Dimulai tahun 2010 sampai sekarang program
MEF kita telah menghasilkan perkuatan militer yang sudah mengungguli
Malaysia. Bahkan Natuna kita jadikan
pangkalan militer besar yang lokasinya sangat strategis tepat berada ditengah
Malaysia Semenanjung dan Malaysia Borneo.
Kekuatan militer Singapura jelas mengungguli Malaysia. Apalagi kondisi
militer Malaysia saat ini sedang tidak “bahagia” akibat ulah rezim terdahulu
yang tidak cakap dalam mengelola pemerintahan. Rasio hutang terhadap PDB negeri
melayu itu saat ini berada dikisaran 74%, tentu sangat berat beban yang
ditanggung APBN Malaysia.
Pada saat yang bersamaan negara-negara ASEAN lainnya sedang menunjukkan
kuantitas belanja alustsista yang terus menerus. Filipina terus memperkuat alutsista negerinya
dengan membeli berbagai peralatan militer. Thailand juga memperkuat otot
militernya, tidak ketinggalan Vietnam yang ada di garis depan persengketaan
teritori dengan Cina. Indonesia sudah sama-sama kita ketahui belanja terus lho
Om. Sementara Malaysia hanya berdiam diri.
Singapura jelas tak tertandingi soal anggaran belanja militernya dan terus
memperkuat pagar teritorinya dengan model pre emptive strike. Maka ketika
silang sengketa soal perairan di Selat Johor memanas, wajar saja dia unjuk
kekuatan karena memang dia punya
kekuatan menyengat yang luar biasa. Soal siapa yang salah dan siapa yang benar
tentang kepemilikan teritori itu jadi urusan diplomasi antara keduanya.
Maka pelajarannya yang diambil dari sengketa antar jiran adalah, jangan
abaikan kekuatan dan perkuatan militer.
Karena militer adalah bagian dari kekuatan diplomasi sebuah negara.
Unjuk kekuatan militer Singapura terhadap Malaysia di Selat Johor bisa
dipandang sebagai ledekan dan ejekan untuk jiran utaranya itu.
Program MEF kita yang sedang berlangsung saat ini juga merupakan langkah strategis untuk menunjukkan kepada
jiran bahwa kita jangan dianggap remeh. Kita perkuat militer kita sejalan
dengan perkuatan ekonomi karena antara keduanya adalah investasi untuk menuju marwah
negeri berdaulat, bergengsi dan berotot.
Tentu kita berharap sengketa antara kedua jiran itu bisa diselesaikan
secara baik dan terhormat melalui jalan diplomasi. Antara keduanya saling
membutuhkan satu sama lain. Kedepankan
etika ASEAN dan saling menahan diri. Singapura jelas butuh jirannya Malaysia
juga sebaliknya Malaysia membutuhkan Singapura dalam banyak hal.
****
Solo, 15 Desember 2018
Jagarin Pane