Selama puluhan tahun tidak terjawab siapa sebenarnya yang
membunuh Jendral Aubertin Walter Sothern Mallaby di Surabaya tanggal 30 Oktober
1945 malam hari. Selama waktu itu pula
belum terjawab mengapa begitu heroiknya rangkaian pertempuran di kota Surabaya,
padahal organisasi tentara baru saja dibentuk.
Bagaimana mereka para pemuda memobilisasi kekuatan yang demikian
hebatnya untuk melawan ribuan tentara Sekutu dari Brigade 49 Divisi 23 The Fighting Cock Inggris yang
kenyang pengalaman tempur PD II.
Fakta sejarah yang selama ini diabu-abukan dalam buku
sejarah kita akhirnya diperjelas hitam putihnya. Faktanya adalah dalam sebuah
kemelut yang terjadi di Jembatan Merah Surabaya Jendral Malllaby ditembak oleh seorang pemuda santri.
Hal ini juga dipertegas oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo baru-baru
ini. Bahwa pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945 sesungguhnya didominasi oleh
peran para santri dan lasykar santri karena TNI sendiri baru lahir 5 Oktober
1945.
Mobil Brigjen Mallaby yang terbakar habis |
Resolusi Jihad yang dikeluarkan di Surabaya dalam
pertemuan para ulama se Jawa dan Madura tanggal 21-22 Oktober 1945 adalah
pemicu pertempuran besar itu. Resolusi ini memberikan semangat yang luar biasa
bagi para pemuda santri untuk berjuang membela tanah airnya. Aliran tentara
Sekutu yang merembes di berbagai kota besar di Indonesia khususnya pulau Jawa
memberikan kesan seakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dianggap pernyataan
ompong. Maka puluhan ribu pemuda santri dan lasykar Islam tampil menunjukkan
kekuatannya.
Saat ini nilai kejuangan para santri dicatatkan dalam
sejarah tanah air dengan menetapkan tanggal 22 Oktober setiap tahun sebagai
hari santri nasional, mulai tahun 2015. Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari tanggal
22 Oktober 1845 adalah nilai emasnya. Mengapa baru sekarang ditetapkan. Jawabnya
karena baru lima tahun terakhir ini kita “sadar diri”. Baru bisa merenungkan dengan
jernih tanpa politisasi makna perjuangan para santri yang selama ini dianggap
tidak bergaung di kancah perang kemerdekaan.
Para santri dan ulama adalah komponen hijau daun tanah
air yang mampu memberikan kesejukan pada warna republik meskipun sering
diganggu oleh hiruk pikuk kemarahan dan sumpah serapah dari daun-daun yang lain.
Disitulah nilai tambahnya, tidak mudah terpancing meski sudah diatas ubun-ubun
“serangan artilerinya”. Santri sejati dan ulama adalah perekat nilai-nilai
ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Wathoniyah meski sering menjadi obyek pelengkap
penderita dari tema-tema penghasutan.
Para santri dan kader militan dari komponen hijau daun
yang berkarakter nahdliyin adalah komponen terbesar yang masih bisa menjadi
indikator stabilitas perjalanan eksitensi negeri ini. Jumlah ini ada puluhan
juta di tanah air, karakternya menyejukkan dan tak suka ribut. Meski berkarakter
low profile dan sering menjadi obyek cemoohan karena tak mampu berkonsolidasi, sekali
waktu perlu melakukan show of force untuk menunjukkan kekuatan militan hijau
daun “berkarakter tentara”.
Maka di puncak Gunung Lawu Tawangmangu dipertunjukkan kekuatan
militan itu tanggal 14-15 Oktober 2017. Puluhan ribu kekuatan militan santri
dan ulama hijau daun berkumpul dalam semangat bertanah air yang kuat, ghiroh
menjaga republik, hubbul wathon minal iman.
Kader militan hijau daun sekali waktu perlu mempertunjukkan jati dirinya
yang nasionalis religi karena itu adalah amanah, bahwa mencintai tanah air dan
membela tanah air adalah sebagian dari iman.
Sementara itu doktrin tentara kita jelas, mati terhormat
demi kejayaan NKRI. Pemerintah saat ini
sedang membaguskan kekuatan alutsista tentaranya yang juga berseragam hijau
daun. Semua dibenahi, infrastruktur
berupa pangkalan militer dibangunbesarkan. Berbagai jenis alutsista canggih
didatangkan untuk memperkuat benteng pertahanan republik. Ini dilakukan demi
marwah teritori NKRI, demi kedaulatan NKRI, menjaga eksistensi bernegara dengan
segala dinamikanya.
Puluhan ribu Santri dan Ulama berkumpul di Gn Lawu |
Para santri kita sesungguhnya juga berjiwa tentara
terutama jika disejajarkan bangunan nasionalismenya, semangatnya untuk
mencintai tanah airnya. Sejarah santri adalah lembaran-lembaran untuk selalu
mencintai Indonesia. Resolusi jihad
adalah bukti ketika proklamasi 17 Agustus 1945 dianggap tidak ada. Puluhan ribu
pemuda santri dengan lasykar-lasykarnya bersama dukungan ulama melakukan
pertempuran hebat di seluruh Indonesia.
Kurikulum tentara adalah kontrak mati pada NKRI, garda
terdepan untuk melindungi, menjaga dan menjamin eksistensi NKRI. Sesungguhnya karakter tentara dan karakter
Santri adalah sama, mencintai tanah air, membela tanah air dan pilar-pilar
didalamnya. Tentara hijau daun dan santri
hijau daun adalah dua komponen yang saling menguatkan dan menghebatkan. Yang
satu dengan kekuatan alutsista, yang satu lagi dengan kekuatan doa.
Maka ketika tampilan menggemuruh puluhan ribu santri dan ulama
Nusantara di Gunung Lawu beristighosah dan berikrar di pagi sejuk ba’da Subuh,
tanpa publikasi luas, itu adalah pesona heroik hijau daun yang ingin
menyampaikan pesan indah. Bukankah tanah air ini alamnya begitu ramah, bukankah
ukhuwah kita begitu barokah, bukankah kebersamaan ini begitu karomah. Bukankah
hijau daun itu pesona indah.
Hijau daun itu adalah tentara dan santri. Hijau daun itu
adalah amanah, istiqomah, fathonah. Untuk memberikan suasana sejuk dan nyaman
ber Indonesia nan indah. Ini bukan soal berpemerintahan, ini soal bernegara. Bagi
kita mencintai bangsa ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang sedang
berkuasa karena bangsa ini lebih mahal nilainya dari sekedar ribut ribut soal
kekuasaan dan pemerintahan. Selamat Hari
Santri Nasional 22 Oktober 2017.
*****
Jagarin Pane /19
Oktober 2017