Sepanjang dua pekan ini ada beberapa berita yang
mengejutkan sekaligus juga membuat kita heran. Berita yang mengejutkan itu
adalah hendak menjadikan Natuna sebagai pangkalan militer segala matra,
kemudian menjadikan Morotai sebagai basis militer berskala besar. Tak kalah
menarik juga menjadikan Tanjung Pinang sebagai pangkalan skuadron. Disela-sela
berita rencana besar itu kita juga dibuat heran karena ternyata insiden Natuna
dengan kapal Cina baru-baru ini sudah dianggap selesai alias diselesaikan
secara “adat”.
Bak gayung bersambut neh karena tak lama kemudian ada
pernyataan Menko Polhukam Luhut Panjaitan yang memberi sinyal bahwa anggaran
militer Indonesia yang memakai formula PDB (Produk Domestik Bruto) akan sampai
di angka nominal 250 trilyun per tahun mulai 3 tahun ke depan. Artinya bila
angka itu tercapai ada kenaikan yang sangat tajam lebih dari 100%. Angka ini
juga mampu menggeser kepemimpinan anggaran pertahanan di ASEAN yang selama ini
dipegang Singapura.
F16 di Halim AFB, kita perlu banyak jet tempur ini |
Sesungguhnya saat ini kita sedang berpacu dengan cuaca
kawasan yang semakin tak menentu, sulit diprediksi. Pepatahnya dikira panas sampai petang
ternyata hujan tengah hari, pakai petir lagi. Ini mengkiaskan cuaca Natuna yang
dikira tak bergelora gelombangnya “sampai petang nanti” ternyata diguyur
insiden gelombang panas tak terduga yang
mencederai kehormatan teritori NKRI.
Jakarta kaget, marah lalu bersikap tahu diri. Kaget karena segitu-gitunya Cina merangsek
perairan Natuna tanpa merasa malu, padahal dalam hal kerjasama ekonomi sedang
mesra-mesranya. Marah, karena harga diri teritori diusik di siang bolong, dan jadi
berita internasional. Lalu akhirnya tahu diri dengan segala pertimbangan
diplomatik, ekonomi dan militer, tak lama kemudian case closed. Penonton kecewa.
Itulah cuaca kita hari ini. Tetapi dalam bahasa militer
insiden itu menjadi mata pelajaran penting bahwa hanya dengan memperkuat otot
militer maka kewibawaan teritori bisa ditegakkan. Tidak bisa tidak. Maka
memperkuat Natuna tidak bisa lagi dengan program jalan santai, jalan biasa
tetapi harus dikebut menjadi jalan cepat atau berlari secepatnya. Infrastruktur militer harus dikerjakan dengan
percepatan dan intensitas tinggi.
Sementara itu kita belum melihat percepatan di bidang penyediaan
alat pukul yang dikenal dengan alutsista itu.
Mestinya tidak menjadi bertele-tele soal penandatanganan kontrak
pembelian jet tempur penggentar Sukhoi SU35 atau jadwal kedatangan F16 blok 52
Id yang terkesan disepelekan produsen. Kita membutuhkan segera armada F16 itu
untuk kegiatan patroli udara saat ini. Bahkan kita masih butuh F16 seri terbaru untuk mengawal kadaulatan
teritori negeri ini. Kita juga butuh jet
tempur Sukhou SU35 tidak hanya delapan tetapi delapanbelas.
Kapal selam terbaru kita diluncurkan di Korsel |
Infrastruktur militer kita sudah cukup memadai. Lihat saja pangkalan udara strategis Medan,
Tarakan, Biak, Kupang semua siap menampung jet tempur berbagai jenis tetapi
harus diakui kuantitas jet tempur itu masih sangat kurang. Setidaknya kita
butuh 3 skuadron F16 dan 2 skuadron Sukhoi untuk persebaran patroli dalam 3
tahun ke depan. Itu hanya untuk patroli,
kalau untuk disegani dan menghadapi kondisi darurat perlu dua kali lipatnya.
Oleh sebab itu rencana besar terhadap Natuna dan Morotai
tentu kita sambut dengan semangat spartan. Tetapi tentu tidak hanya itu
kan. Kupang dan Biak juga prioritas
untuk menjaga wilayah timur yang di selatannya banyak pergerakan pesawat tempur
Australia dan AS. Lebih baik fokus dulu pada Natuna, Biak dan Kupang. Cukupi kebutuhan jet tempur berkualitas di
wilayah ini.
Angkatan Laut Indonesia menjadi garda terdepan untuk
menjalankan misi ketahanan teritori.
Maka dengan anggaran yang mulai membesar tahun depan dan seterusnya kita
meyakini akan ada pertambahan kapal perang permukaan dan kapal perang bawah
air. Pertambahan itu sangat relevan jika
mengambil kelas destroyer atau fregat.
Maka proyek PKR 10514 sangat bagus dilanjutkan sampai mencapai bilangan
nominal 20 unit. Demikian juga dengan
penambahan kapal selam, sangat dimungkinkan kita menambah kapal selam selain
kelas Changbogo.
Rencana besar tentu harus ditopang dengan anggaran
besar. Angka 250 T yang dicapai mulai
tahun 2019 memberikan harapan indah, harapan bangga, harapan jaya, dan harapan hebat.
Tetapi bagi prajurit harapan-harapan tadi tentu akan menjadi harapan palsu jika
kesejahteraan prajuritnya tidak ikut meningkat. Maka harapan kita peningkatan
anggaran yang melonjak tajam itu ikut juga mendongkrak take home pay
kesejahteraan prajurit yang telah dibaiat kontrak mati untuk NKRI.
Kita meyakini mulai tahun 2020 nanti akan kelihatan
postur kehebatan militer kita. Memang
tidaklah mungkin bisa mengimbangi Cina tetapi setidaknya kita mampu membentak dan
menyengat dia jika berani masuk Natuna.
Sebab kalau untuk perang terbuka resiko terburuknya bisa memicu perang
keroyokan alias perang dunia III padahal di sisi lain kemajuan ekonomi,
kesejahteraan dan teknologi ke depan sudah sangat luar biasa. Apakah itu mau dihancurkan, pasti pihak sana
berfikir dua kali untuk itu. Tetapi
kalau untuk menggertak, Cina paling suka itu.
Maka supaya kita tidak kalah gertak ya persiapkan natuna sehebat
mungkin.
Menguatkan Natuna dan Morotai adalah bagian dari
menguatkan beton teritori. Kita harus selalu waspada menghadapi gangguan cuaca
ekstrim yang selalu mengancam. Maka cobalah ramuan penting untuk tolak angin
dan tolak demam teritori dengan cara ini : taburkan belasan jet tempur,
sebarkan puluhan kapal perang, luncurkan satu dua butir kapal selam. Lalu perhatikan apa yang akan terjadi. Kalau
masih juga demam berkepanjangan maka hubungi dokter secepatnya. Dokter itu bisa bernama Jepang, AS dan
Australia.
****
Jagarin Pane / 22 April 2016