Perkembangan demam di Laut Cina Selatan semakin bulan ( kalau
tidak ingin disebut semakin hari) semakin menunjukkan intensitas lagak diri
dari seorang pemain yang merasa paling berhak, Cina. Secara diam-diam Cina
membangun sebuah pangkalan militer di salah satu gugus kepulauan Spratly yang
juga di klaim Filipina. Pembangunan
basis militer itu jelas mengancam negara-negara ASEAN.
Cina sedang bergiat diri membangun kekuatan armada laut
dan udaranya. Saat ini saja kekuatan
angkatan udara dan lautnya tidak tertandingi meski seluruh negara ASEAN
dikumpulkan kekuatan militernya. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor
satu di dunia dengan dukungan kekuatan militer bernaluri ekspansif boleh jadi
target kekuatan serbu yang dicanangkan pada tahun 2020 menjadi sebuah momok
bagi negara ASEAN yang berteritori di LCS, termasuk Indonesia. Dan itu hanya 5 tahun dari sekarang.
Apache sedang melatih Penerbad |
Dalam bingkai LCS, Indonesia mestinya tidak lagi
menjalankan politik bandeng presto dalam diplomasi dengan Cina. Indonesia, bersama Malaysia, Singapura,
Filipina dan Thailand adalah pendiri ASEAN. Jadi mestinya ASEAN tetaplah nomor
satu. Artinya negara-negara anggota ASEAN yang punya klaim alias sengketa LCS
dengan Cina harus lebih diutamakan aspirasinya ketimbang si Naga. Jangan
menampilkan gaya diplomasi bandeng presto.
Ketika di internal ASEAN (dalam
kenetralan kita), menjadi sebuah unjuk kerja persoalan yang dinamis dan panas lalu
ketika Indonesia berhadapan dengan Cina menjadi bandeng duri lunak. Cina harus
dihadapi dengan ketegasan, tidak ada kata lain yang lebih tepat dari itu. Indonesia harus mengambil sikap.
Salah satu aroma ketegasan itu adalah dengan membangun
pangkalan militer segala matra di Natuna.
Saat ini kepulauan Natuna tidak masuk dalam klaim Cina terhadap LCS
tetapi bukan tak mungkin negeri semilyar umat itu suatu saat kembali mengklaim
manakala seluruh kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel berhasil dikuasainya.
Jadi bangunkan Natuna, siapkan alutsista strategis, tempatkan 1 skuadron jet
tempur dan kapal-kapal perang secara permanen disana. Natuna adalah jawaban
militer terhadap arogansi klaim lidah naga yang menjulur kemana-mana.
Disamping membangun kekuatan militer lebih agresif,
Indonesia sudah mulai harus memikirkan perlunya aliansi militer dengan
sahabatnya di ASEAN utamanya yang “merasa terdesak dan kalah gertak” dengan
klaim Cina seperti Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina. Jika aliansi militer dengan 4 negara ini
menjadi kenyataan tentu mampu menjadi kekuatan bargaining diplomasi. Kekuatan diplomasi bagaimanapun harus dibayangi
dengan kekuatan militer sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam setiap
sengketa internasional.
Berhadapan dengan Cina seperti berhadapan dengan tembok,
makanya ASEAN harus membangun tembok juga untuk membuka celah diplomasi
setara. Sebab jika Vietnam atau Filipina
atau Malaysia berhadapan one by one dengan Paman Mao, dijamin tak akan ada
hasil yang didapat, bahkan mungkin pelecehan militer. Masih ingat ketika armada kapal perang Cina
menghampiri beberapa pulau yang diklaim Filipina dan Malaysia dalam perjalanan
unjuk kekuatan mulai dari LCS, selat Sunda, lalu unjuk kebolehan di hidung
Australia sebelum akhirnya pulang melalui selat Lombok dan selat Makassar.
Sapuan Lidah Naga |
Secara tersirat sebenarnya pergeseran sikap Indonesia itu
makin terlihat dengan mulai mengarah pada persekutuan tak tertulis dengan
AS. Ikut sertanya DIRI (Defense Institution
Reform Initiative) AS menjadi konsultan pertahanan, ikut merancang strategi
pertahanan, penguatan sistem dan manajemen pertahanan Indonesia menunjukkan
adanya perubahan sikap. Disamping itu ada berbagai penawaran alutsista canggih
seperti helikopter Apache, jet tempur F16 blok 60 lengkap dengan
persenjataannya. Ada kabar bahwa AS juga menawarkan beberapa fregat
operasionalnya untuk memperkuat angkatan laut Indonesia.
Ketegasan sikap Indonesia perlu ditunjukkan, sama halnya
ketika kita melakukan penenggelaman kapal-kapal asing maling ikan, melanggar
teritori kita. Dan kita bisa
melaksanakan itu. Juga ketika kita tegas menembak mati narapidana narkoba warga
negara asing yang sudah ditolak grasinya, meski Brazil dan Belanda mutung lalu
menarik Dubesnya dari Jakarta.
Belakangan Belanda sudah sembuh dari mutungnya dan kembali mengirim
Dubesnya ke Jakarta. ASEAN tidak bisa
berjalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan konflik besar di LCS. ASEAN harus punya formula jitu untuk
menjinakkan si Naga yang sudah menyemburkan api permusuhan di kawasan kaya
sumber energi itu.
Kalau kita jeli membaca kunjungan lima hari Panglima TNI
ke Cina akhir Februari 2014, usai dari kunjungan Jenderal Moeldoko mengatakan
dengan tegas bahwa kita akan membangun pangkalan militer besar di Natuna. Tak lama kemudian Menhan Purnomo waktu itu
menambahkan kita akan menempatkan helikopter Apache diNatuna. Boleh jadi pesan
ini sebagai hasil pertemuan dengan petinggi militer disana yang tetap berwajah
ketat ketika diajak ngomong soal LCS. Maka
ini bisa jadi menjadi awal perubahan sikap itu secara militer.
Kita meyakini bahwa aliansi militer beberapa negara ASEAN
sekaligus perkuatan militer Indonesia akan membuka peta jalan baru sekaligus
mencairkan cara pandang Cina terhadap LCS, bahwa jalan dialog dengan kesetaraan
merupakan solusi win-win. Tameng dari
diplomasi itu adalah kesetaraan kekuatan militer. Aliansi militer 4 negara ASEAN dengan
dukungan Australia, Jepang dan AS boleh jadi akan membuat pihak sana berhitung
ulang. Namanya juga skenario, apapun boleh dirancang tergantung perubahan
situasi. Jika Indonesia punya inisiatif,
boleh jadi ini adalah salah satu langkahnya.
****
Jagarin Pane / 14 Feb 2015