Doktrin pertahanan yang bernama “masuk dulu baru digebuk”
sudah mulai ditinggalkan oleh pengawal republik dan berganti baju dengan “berani
masuk digebuk”. Ini sejalan dengan hakekat rencana pembentukan Kogabwilhan yang
menyatukan komando matra darat, laut dan udara dalam satu komando gabungan di
hotspot yang diprediksi menjadi pusat konflik teritori. Setidaknya ada 4 hotspot yang disiapkan, dua
diantaranya hotspot teritori yaitu Ambalat dan Natuna. Dua lainnya adalah hotspot separatis yaitu
Aceh dan Papua.
Natuna adalah hotspot yang harus dipersiapkan untuk
menjadi titik tumpu pertahanan berskala brigade gabungan. Pembangunan pangkalan angkatan laut dan udara
saat ini untuk bisa menampung beberapa kapal perang dan jet tempur secara
permanen merupakan keniscayaan untuk memastikan doktrin berani masuk digebuk,
bisa dipercaya. Bukan apa-apa, kita
sedang berpacu dengan waktu karena demam yang tak kunjung usai bahkan tensi
semakin meninggi dengan aura sengketa batas teritori yang saling berklaim di
seberang pagar Natuna yang kaya itu.
Unjuk kekuatan di Surabaya, HUT TNI ke 69 |
Pembangunan pangkalan militer di Natuna untuk
ketersediaan alat tempur utama yang dibutuhkan seperti kapal perang
berkualifikasi striking force, sejumlah jet tempur, helikopter tempur, satuan
radar, satuan peluru kendali anti serangan udara, batalyon infantri dan
intelijen gabungan. Memperkuat Natuna
mirip-mirip dengan memperkuat Tarakan di Kaltara ketika konflik Ambalat memanas
beberapa tahun silam. Natuna hampir sama dengan Tarakan, sama-sama sebuah pulau
yang disekitarnya kaya dengan sumber daya alam tak terbarukan.
Saat ini di pulau Tarakan sudah tersedia brigade gabungan
AD, AL dan AU. Lanud Tarakan sudah dinaikkan
kelasnya, mampu “menginapkan” jet tempur segala jenis, sudah tersedia satuan
radar militer, pangkalan AL sedang dikembangkan, kapal perang berpatroli rutin
setiap saat. Di Nunukan juga sudah
dipersiapkan 1 brigade TNI AD berikut satuan intelijen dan satuan radar yang
mampu mengawasi pergerakan pesawat di Sabah Malaysia. Hasilnya, jiran sebelah tak segalak dulu
lagi, bahkan suaranya sudah “nyaris tak terdengar” di sekitar Ambalat.
Latihan gabungan AU dan AL dengan komando Hanudnas selama
sepekan ini yang berakhir di penghujung Oktober 2014 di Natuna, Batam, Dumai
dan Pontianak adalah untuk menguji koordinasi, komunikasi dan kecepatan respons
terhadap adanya ancaman di garis border itu.
Tiga jenis jet tempur dilibatkan yaitu 4 Sukhoi, 6 F16 dan 8 Hawk
bersama sejumlah kapal perang yang disiagakan di Dumai, Batam dan Natuna. Pesan
jelasnya adalah mensimulasikan doktrin berani masuk digebuk, termasuk adanya
force down pesawat sipil Singapura yang nyelonong masuk teritori pada saat
latihan itu berlangsung.
Sukhoi dan F16 di langit Jakarta, 17 Agustus 2014 |
Kehadiran militer berkualifikasi siap tempur di Natuna
bersama sejumlah alutsistanya sejatinya mendapat dua manfaat sekaligus. Dalam beberapa tulisan terdahulu kita
berpandangan bahwa pembangunan kekuatan militer di Natuna seperti peribahasa,
sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Maksud utamanya adalah untuk menjaga teritori kita dari ancaman “lidah
naga”. Benarlah kemudian karena ternyata pembangunan pangkalan militer itu memberikan
manfaat kedua, mampu memberikan nilai gentar pada negara jiran. Beberapa
pendapat di forum militer Malaysia memberikan makna strategis bagi militer
Indonesia karena pangkalan militer Natuna dikhawatirkan mampu memberikan sekatan
alias blokade militer dari Semenanjung Malaysia ke Sarawak dan Sabah jika
konflik terjadi di Ambalat.
Kita meyakini bahwa dalam waktu 2-3 tahun ke depan Natuna
sudah tersedia kekuatan menyengat untuk pihak lawan yang ingin mengganggu. Natuna memang dipersiapkan model pertahanan
sarang lebah untuk musuh dari Utara namun kalau ada tetangga kiri kanan yang
merasa khawatir, itu adalah dampak dari strategi pertahanan RI yang bermain
cantik tanpa harus menyinggung perasaan tetangga. Kalau mau khawatir sih
boleh-boleh saja. Kita juga khawatir jangan-jangan Natuna juga diklaim atau mau
dicaplok. Jadi pembangunan pangkalan militer di Natuna adalah implementasi konsep
Kogabwilhan untuk membentengi diri dari kekuatan Utara yang punya ambisi
ekspansi teritori.
Sudah tentu isian alutsista untuk memperkuat militer
Indonesia di renstra kedua MEF ini akan semakin gahar lagi. Disamping mempersiapkan Natuna juga
mempersiapkan Biak untuk home base skuadron tempur dan Sorong untuk home base
Marinir yang dikembangkan menjadi 3 divisi.
Sangat wajar dengan tambahan 2-3 skuadron tempur dalam lima tahun ke
depan bersama 100 tank Amfibi dan sejumlah kapal selam, fregat,korvet atau
KCR. Alutsista jenis lain yang
diprediksi datang adalah satuan peluru kendali anti serangan udara jarak
sedang, sejumlah radar militer, pesawat UAV.
Natuna adalah pertaruhan kehormatan dan harga diri
kedaulatan. Mempersiapkan Natuna adalah
dalam rangka pertaruhan kedaulatan itu dari kacamata militer. Jangan lupa ruang diplomasi yang menjadi
kekuatan tawar setara itu harus dibayangi dengan kekuatan militer agar tidak
ada unsur “anggap enteng” karena sekali lagi negara yang kekuatan militernya
setingkat anjing kampung akan ditertawakan oleh pihak sana. Jadi disamping punya keandalan dan kecerdasan
diplomasi juga harus dikawal dengan kekuatan milter segahar herder.
****
Jagvane / 31 Oktober 2014