Saturday, February 8, 2014

Blunder Diplomatik Singapura



Protes Singapura dengan penamaan KRI striking force Indonesia yang baru, KRI Usman Harun merupakan cermin keangkuhan dari negeri yang tak punya pahlawan dan taman makam pahlawan itu.  Ada beberapa hal yang ingin kita garis bawahi dalam penyampaian keberatan itu. Yang pertama pernyataan itu diumumkan lebih dulu ke media, setelah itu Menlu K Shanmugam baru berkunjung ke Jakarta.  Lebih jauh dari itu dampaknya membuka luka lama sejarah kedua bangsa.  Namun blunder itu justru mempopulerkan kisah heroik pasukan komando angkatan laut (KKO) Indonesia terutama di mata generasi mudanya.

Sekadar mengingatkan pada era Dwikora, Singapura itu belum lahir, artinya perselisihan tentang pembentukan negara Malaysia tidak ada kaitannya dengan “provinsi” Singapura waktu itu.  Sehingga sabotase yang dilakukan Usman dan Harun di Orchard tanggal 10 Maret 1965 harus dilihat sebagai bagian dari operasi ganyang Malaysia.  Dwikora belum selesai, Singapura melepaskan diri dari persekutuan Tanah Melayu tanggal 9 Agustus 1965.  Artinya dia sendiri menelikung nilai perjuangan persekutuan tersebut.

PM Lee menabur bunga di makam Usman Harun
Lembar sejarah berikutnya, konfrontasi berakhir kemudian ASEAN didirikan di Bangkok tanggal 8 Agustus 1967. Lima negara ASEAN sebagai pendirinya termasuk Singapura sesungguhnya ada dalam nawaitu dan tekad untuk tidak lagi bermusuhan, bersahabat dan bekerjasama.  Termasuk Filipina yang tak lagi meributkan Sabah.  Perjalanan kemudian membuktikan bahwa persahabatan Indonesia dan Malaysia semakin merapat sementara Singapura masih memendam benci.  Terbukti dengan eksekusi hukuman gantung kedua marinir Indonesia itu tanggal 17 Oktober 1968.

Namun meski sakit menyesak dada bagi sebagian besar rakyat bangsa ini pada waktu itu, Presiden Soeharto memperlihatkan sikap tenang untuk tetap melanjutkan niat baik ASEAN tadi. Setelah terjadi kerusuhan rasial di Semenanjung Malaysia tahun 1969, Malaysia merapat ke Indonesia. Bagi pemerintah Malaysia kerusuhan antar etnis ini adalah penelikungan kedua yang dilakukan etnis tertentu setelah Singapura melepaskan diri dari persekutuan.  Maka untuk tetap memegang kendali etnis, Malaysia dan Indonesia sepakat pada tahun 1971 melalui operasi rahasia “Soeharto-Tun Razak” memasukkan puluhan sampai ratusan ribu warga Indonesia ke Malaysia.  Inilah sejarah awal masuknya tenaga kerja Indonesia.  Dan ini juga yang mestinya harus dihormati oleh Malaysia sebagai perjuangan agar etnis tertentu di Malaysia tetap memegang kendali dominasi persentasi jumlah.

Kedekatan hubungan Indonesia-Malaysia membuat Lee Kuan Yew merasa terjepit dan sedikit paranoid.  Maka melalui upaya diplomasi yang optimal PM Lee “berhasil” mengunjungi Jakarta tahun 1973 itu pun dengan satu syarat yang diajukan Soeharto yaitu bersedia berziarah ke makam kedua pahlawan nasional itu, Usman dan Harun.  PM Lee bersedia menabur bunga kembang pahlawan.  Ini adalah kemenangan diplomatik Indonesia yang paling indah dan mengharukan sepanjang dekade 70an. Maka secara logika rasional dan emosional seharusnya tidak ada lagi ganjalan pola pikir dan sesak nafas emosi diri dalam hubungan kedua negara.

Embarkasi pasukan dan alutsista Marinir
Oleh sebab itu maka keberatan pemberian nama KRI Usman Harun merupakan blunder diplomatik bagi Singapura sekaligus memberikan ruang amunisi nasionalis patriotik bagi bangsa ini utamanya generasi mudanya.  Puluhan juta generasi muda Indonesia rela membuka kembali halaman sejarah kelam itu lewat berbagai media sosial dan media lain, dan “menikmati” kisah heroik Usman Harun.  Singapura sepertinya tak paham dengan sejarah masing-masing bangsa.  Dalam perang Iran-Irak tahun 80an ratusan ribu tentara mati.  Bagi Iran tentaranya itu syuhada, bagi Irak tentaranya itu juga syuhada.  Bagi Iran tentara Irak adalah penjahat perang demikian juga sebaliknya.  Singapura harus melihat diri sisi ini.  Tetapi lebih penting dari itu jangan selalu mendikte dan superior dalam hubungan bertetangga, biasa-biasa aja lah.  Indonesia itu sudah banyak memberikan manfaat eksistensi bagi tetangga sekitarnya utamanya Singapura. 

Dari semua dinamika yang terjadi belakangan ini, perlakuan tetangga-tetangga itu memang pada akhirnya harus dijawab dengan perkuatan militer sebagai basis kekuatan diplomasi selera tinggi. Perkuatan militer adalah jawaban tak tertulis yang akan menyadarkan para tetangga untuk bisa menghormati negara kepulauan terbesar di dunia ini.  Perkuatan militer Indonesia beriringan dengan kekuatan nyata nilai PDB (Produk Domestik Bruto) yang dimilikinya meski persentasenya masih nol koma sekian persen. Meski jumlahnya tetap konstan saja misalnya 0,8 % dari PDB, jika PDBnya naik terus maka otomatis belanja militernya juga naik kelas.  Artinya potensi kekuatan belanja militer Indonesia sesungguhnya lebih dahsyat dari Singapura yang PDBnya hanya sepertiga dari PDB Indonesia.

Singapura mestinya harus membaca prediksi dan perspektif ke depan dalam pola etika bertetangga.  Dan harus ngaca diri. Sekuat apapun milter Singapura bukanlah merupakan ancaman bagi Indonesia.  Penjelasannya mudah, itu negeri cuma segede Batam, hanya satu titik dalam konteks pertahanan.  Sedangkan Indonesia terdiri dari beribu-ribu titik.  Dalam strategi militer tentu pertahanan satu titik lebih mudah dihancurkan daripada yang punya beribu titik.  Tetapi jangan khawatir karena RI sungguh tak punya niat untuk itu dan justru Singapura harus berterimakasih karena Indonesia sudah menganggap negeri pulau kota itu sebagai daerah tujuan wisata belanja atau “provinsi darmawisata”.

Elok-eloklah kita berjiran, tak perlu merasa superior karena pola hubungan itu saat ini dan seterusnya sudah masuk dalam bingkai saling memberi dan menerima. Bolehlah ente bangga dengan keberhasilan ekonomi mencapai negara kesejahteraan, pusat keuangan no 4 di dunia, pusat wisata belanja dan berbagai penghargaan keberhasilan multi dimensi.  Tapi jangan karena predikat kehebatan itu ente lalu berupaya mendikte tetangganya.  Indonesia sudah memastikan dirinya ada di 15 besar ekonomi dunia dan akan terus berpacu menuju negara kesejahteraan yang kuat nilai-nilai kebangsaannya.  Sejalan dengan itu modernisasi militer RI juga tengah berlangsung termasuk membeli 3 kapal perang light fregat dari Inggris yang salah satunya diberi nama KRI Usman Harun.

Singapura harus mulai memahami mengapa semua komponen bangsa Indonesia mulai dari kalangan pemerintahan, parlemen, dan rakyat bangsa ini serentak menyuarakan ketidaksenangannya terhadap “intervensi”keangkuhan diplomatik negeri itu. Jalan-jalan ke masa depan akan memberikan nilai prediksi itu. Perkembangan ekonomi, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, jumlah penduduk dan masa depan Indonesia sesungguhnya lebih terjamin dibanding eksistensi sebuah negara jasa yang mungil tapi arogan.  Berhati-hatilah dengan pertanda jaman, kebangkitan ekonomi dan militer Indonesia.
****
Jagvane / 8 Feb 2014