Laut Selatan ternyata tidak sesepi yang kita duga. Kalau kita memandangnya dari Parangtritis
Yogya atau pantai-pantai lainnya di Kidul Jawa memang seakan tak ada gerakan
lain selain gerakan ombak besar yang menderu dan berlomba menuju pantai. Tetapi beberapa pekan terakhir ini gerakan
kapal perang negeri Kanguru mengharuskan Angkatan Laut kita menghadirkan diri di
kawasan “kekuasaan” Ratu Kidul itu.
PM Australia Tony Abbot beraliran keras terhadap
pendatang perahu yang transit dari negeri kepulauan di utara negerinya. Dalam pandangannya kalau aliran pengungsi ini
tak disekat bakalan ramai tuh perimbangan populasi wajah bule di Australia
dengan wajah Asia yang warna warni.
Bayangkan saja rata-rata jumlah orang perahu yang datang setiap bulan
berkisar 2000-3000 orang. Kemudian
dikalikan setahun, kemudian dikalikan berapa kali melahirkan dan beranak
pinak. Maka wajah Australia limapuluh
tahun mendatang adalah wajah dominasi Asia.
Tapi itu urusan dialah.
Wapres Boediono dengan PM Abbot di Canberra |
Yang menjadi urusan republik ini adalah, selalu saja
tetangga selatan itu merasa dia benar sendiri lalu mengatur-atur Indonesia agar
mau diatur. Mulanya sih sebagai tetangga
yang baik, kita tepo seliro alias toleransi untuk memahami kegelisahan tetangga
Eropa itu. Tapi setelah berita sadap menyadap memecah kesunyian malam buta,
membuyarkan kekhusyukan dalam berjiran. Tetangga
sebelah itu memang tidak pernah tulus dalam menjalin persahabatan dengan
jirannya yang besar ini.
Merasa dikhianati tentu republik punya hak veto alias hak
egois. Memang kita perlu juga tunjukkan
hak egois itu karena kita bernama Indonesia Raya. Ditinjau dari delapan penjuru mata angin negeri
kita lebih segalanya dari negeri selatan itu.
Yang kurang dari negeri kita adalah masih kurang makmur dan sejahtera
dibanding negeri bule Asia itu. Sesekali
menyatakan tidak, sangat membanggakan dan itu sudah dinyatakan dengan jelas
pada hari-hari terakhir ini. Apalagi
hari-hari ini Wapres Boediono lagi ada di negeri itu.
Tentu selain jawaban tidak itu, sebagai konsekuensinya kita
juga harus mengerahkan kekuatan angkatan laut kita. Ini juga bagian dari ujicoba kemampuan armada
TNI AL yang selama ini jarang “bermain” di wilayah selatan. Tetapi tentu pengerahan kapal perang ini
harus mencerminkan kekuatan kewibawaan itu.
Maka pantas kalau yang dikerahkan kapal perang fregat atau korvet di
kawasan itu.
Mengapa disebut uji coba karena ke depan memang aliran
kapal perang di Laut Kidul akan semakin ramai dengan dibukanya front Darwin, Christmas
dan Kokos menghadapi Cina di Laut Cina Selatan (LCS). Ini sesuai dengan kebijakan si polisi dunia
AS yang akan membuka lebih banyak gelaran kapal perang dan kapal induk di Asia
Pasifik. Repotnya untuk menghadapi Paman
Mao, Paman Sam dan keponakannya Aussi harus melewati halaman rumah tetangga
yang bernama Indonesia.
Oleh sebab itu ke depan Angkatan Laut Indonesia perlu
diperkuat dengan sejumlah kapal perang berkualifikasi destroyer dan kapal selam
laut dalam. Untuk tahap pertama minimal
diperlukan 3-5 Destroyer dan 6-8 kapal selam herder. Statemen Menhan tentang pengadaan 10 kapal
selam dari Rusia baru-baru ini diyakini adalah dalam upaya merespons intensitas
pergerakan kapal asing di Laut Kidul disamping mengawal LCS dan Ambalat.
Kita berpandangan kapal selam Rusia memiliki kekuatan
getar dan gentar dan sangat pantas jika kita mengambilnya meski tidak harus 10
unit. Memiliki 6 kapal selam kelas kilo
saja akan memberikan kekuatan otot angkatan laut untuk berani tampil di laut
dalam seperti laut Kidul. Masih ada
waktu untuk berbenah diri memperkuat dan memodernisasi alutsista TNI segala
matra. Tidak salah kalau pemikiran
tentang kehadiran 3-5 destroyer itu bersama 6 kapal selam kilo menjadi cita-cita
dan harapan yang berbinar-binar.
Bersiap menuju tugas kawal negara |
Peta patroli angkatan laut selama ini lebih terfokus pada
LCS, Selat Malaka, Laut Sulawesi dan Arafuru.
Tetapi di depan mata akan semakin jelas gerakan kapal perang asing di
Laut Kidul yang akan melewati selat Sunda menuju LCS atau sebaliknya. Kehadiran 3 kapal perang light fregat dari
Inggris tahun depan setidaknya mengurangi sesak nafas armada laut dalam. Apalagi jika dalam lima tahun ke depan ada penambahan
kapal perang kelas destroyer bersama 6 kapal selam laut dalam diniscayakan
memberikan kekuatan striking force yang setara.
Bagaimanapun diplomasi adalah ranking utama dalam
menyuarakan suara hati republik, tentang kesukaan, tentang ketidaksukaan dalam
etika pergaulan antar bangsa. Bahasanya
tentu bahasa diplomatik, etika diplomatik dan tata cara diplomatik. Namun kegagahan nilai diplomasi tentu sangat
berkaitan erat dengan kegagahan militer sebagai payung kekuatan bernegara itu. Dengan militer yang kuat bahasa diplomatik
akan memberikan efek multiflier, gaungnya lebih menggema. Jelasnya, kita harus
punya militer yang kuat, itu saja Om, permintaan kami yang jelata ini.
****
Jagvane/ 13 Nop 2013