Sebagai pencinta republik banyak diantara kita merasa
under estimate terhadap potensi kekuatan bangsa ini. Sebagai contoh ketika situs militer terkenal
dari luar sana mengabarkan ranking kekuatan militer Indonesia yang menduduki 16
besar dunia, banyak yang tidak meyakininya.
Padahal seluruh indikator yang membangun rangka kekuatan militer dalam
penyusunan ranking itu memang merupakan elemen yang memajukan potensi kekuatan
militer. Misalnya potensi sumber daya
manusia, sumber daya alam yang besar, kekuatan daya beli yang lebih dikenal
dengan APBN dan produk domestik bruto.
Kemudian jika ada jiran yang mau beli alutsista, muncul
perasaan minder seakan kita tidak punya daya dan gaya dalam menampilkan militer
kita. Yang lebih aneh lagi ketika daftar
belanja alutsista kita selama 4 tahun terakhir yang merupakan belanja terbesar
setelah era Dwikora digelar dan barangnya sudah mulai datang satu persatu,
masih ada saja yang mengatakan dengan nada pesimis bahwa barang yang diadakan dan
yang didatangkan itu sesungguhnya “tidak nendang”.
Satgas Bansos TNI AL saat ini sedang menjelajah pulau terpencil di NTT |
Misalnya forum militer dari jamaah aliran penentang “bekasiyah”
atau “hibaiyah”, maksudnya tentang alutsista bekas dan hibah seperti 24 jet
tempur F16 dianggap tidak memberikan efek gentar. Padahal jet tempur bekas pakai angkatan udara
AS ini sesungguhnya diperbaharui lebih dulu sebelum dikirim ke Indonesia tahun
2014 nanti. Sampai saat ini F16
merupakan alutsista yang tetap diperhitungkan di seluruh dunia. Disamping itu kita kan juga sudah punya 1
skuadron jet tempur kelas berat Sukhoi yang menjadi tamu kehormatan dalam Pitch
Black di Australia beberapa bulan lalu. Artinya tetangga saja sudah mulai
menyadari kebangkitan militer Indonesia
Pertanyaannya mengapa kita selalu merasa pesimis dan
apatis terhadap segala hal termasuk tentang militer kita. Peran media sedikit
banyak memberikan “arahan” tentang mekanisme pola pikir berbangsa. Media dengan kebebasan mutlaknya lebih
menyajikan porsi dominan tentang peristiwa “laku jual”, maksudnya kalau ada
cerita tentang korupsi, ketidakpastian hukum, berita kriminal, perilaku
Parlemen sangat cepat disiarkan kalau perlu breaking news atau live. Tetapi jika ada berita penting tentang
kemajuan dan prestasi membangun, porsinya hanya sebatas memberitakan, tidak ada
bumbu penyedap, tidak ada dialog interaktif misalnya tentang operasionalisasi
bandara Kuala Namu yang megah itu, atau keberhasilan PT KAI melaksanakan
angkutan lebaran, keberhasilan Polisi mengamankan jalur lebaran, prestasi TNI
dalam berbagai lomba ketangkasan regional sebagai juara umum, prestasi TNI
dalam misi perdamaian UN di Libanon dan tempat lain.
Termasuk pula upaya MPR untuk menanamkan semangat ber
NKRI dengan pola 4 pilarnya yang digemakan terus menerus. Prestasi anak-anak Indonesia di gelanggang
olimpiade ilmu pengetahuan, pendapatan per kapita yang sudah mencapai US$
3.800,- PDB no 16 besar dunia. Menu yang tersaji dan terbukti sebagai
langkah maju dianggap tidak penting oleh media sehingga pola pikir yang
terbentuk selalu suuzon dan tak percaya.
Meski menjadi berita prestasi tetapi tanggapannya selalu ada kalimat
bersayap, ah paling karena ini karena itu.
Panglima tertinggi on the spot menuju Latgab 2013 |
Membangun rasa percaya diri pada segenap komponen anak
bangsa adalah bagaimana sesungguhnya kemampuan bangsa ini dalam melangkah dan
menapaki jalannya. Media sebagai
jembatan komunikasi berperan besar untuk menyampaikan pesan itu. Tetapi yang
terurai lebih pada persepsi negatif misalnya ketika sebuah media layar kaca
menyampaikan editorialnya tentang pembelian helikopter serang Apache. Kurangnya
pemahaman tentang bangunan konsep dan strategi pertahanan, hanya melihat angka
US$ 500 juta lalu memandang pembelian Apache sebagai pemborosan.
Mestinya jika melihat situasi kawasan yang begitu
dinamis, Laut Cina Selatan yang demam terus, adanya pangkalan militer AS di
Darwin, Cocos dan Singapura, sengketa Ambalat, mengamankan ALKI maka
mengeluarkan angaran belanja alutsista adalah kewajiban untuk mewibawakan
postur pertahanan. Memang diprediksi
tidak terjadi perang terbuka dalam sepuluh tahun ke depan tetapi jangan lupa
postur militer kita yang kuat justru akan menjadi benteng pertahanan yang ampuh
manakala terjadi sesuatu yang tak kita inginkan. Atau postur militer yang kuat itu memberikan
rasa segan untuk berkonfrontasi. Artinya
menjaga untuk tidak terjadi perang.
Beberapa jenis alutsista yang kita pesan sudah mulai
berdatangan dan akan terus berdatangan. Dan
kita (InsyaAllah) tidak akan berhenti sampai disitu. Dalam program MEF tahap kedua (2015-2019)
sangat diyakini kita akan mendatangkan berbagai alat pukul strategis dan
mematikan seperti 10 kapal selam Rusia, jaringan sistem pertahanan udara jarak
sedang, jet tempur kelas berat. Termasuk
mulai memproduksi rudal dan roket, tank medium dan kapal perusak kawal rudal.
Tentu semua itu seiring dengan kemajuan dan pertumbuhan
ekonomi kita yang semakin baik. Jika kita selalu mendoakan dengan lantunan
rasa syukur sebagai anak bangsa dan kemajuan dalam langkah bersama untuk
menjalani hari-hari berbangsa dalam berbagai aktivitas termasuk mendoakan
pengawal republik, niscaya energi positif yang dikumandangkan terus menerus itu
akan menjadi kenyataan. Diakui yang
masih kurang dalam etika berbangsa ini adalah korupsi yang masih menjadi
tetanus bangsa dan ketidakpastian penegakan hukum yang dipertontonkan. Namun
diluar itu banyak yang sudah dicapai termasuk menyandangkan baju alutsista yang
lebih baru dan modern. Untuk itu marilah
kita secara akal budi dan logika cara pandang, membangun rasa percaya diri dan
mensyukuri masih dikunjungi sinar matahari pagi yang hangat nan indah.
****
Jagvane / 04 Sep 2013