Belanja
alutsista yang digelontorkan Pemerintah untuk paket 2010-2014 tentu sangat
menggembirakan kita sekaligus membanggakan.
Belanja itu sekaligus membuktikan komitmen yang serius dari Pemerintah
untuk mendandani tentaranya melangkah menuju kualifikasi setara dan
berteknologi. Perkuatan alutsista TNI
dan peningkatan kuantitas serta kualitas pelatihan prajurit telah membangkitkan
sebuah paradigma baru bagi militer kita, yaitu berlatih tanpa henti dan bersiap
diri dengan alutsista berteknologi.
Ketika uji
tembak rudal Yakhont di perairan Laut Sulawesi beberapa waktu lalu, kebanggaan
yang diraih dengan keberhasilan menenggelamkan KRI LST Teluk Berau itu
merupakan kebanggaan dalam menilai sebuah paradigma teknologi tempur. Yaitu keberhasilan yang mandiri tanpa dibantu
oleh ilmuwan Rusia meluncurkan dan menembak tepat lambung LST tua itu sampai
terjengkang kemudian tenggelam. Ini
adalah keberhasilan pertama yang dilakukan militer di luar Rusia dalam
mengoperasikan rudal maut yang punya kemampuan jelajah sampai 300 km untuk
menghajar kapal musuh.
Tahun ini
direncanakan berlangsung latihan gabungan TNI berskala besar. Ini akan melibatkan banyak personil dan
alutsista terbaru yang dimiliki TNI.
Area latihannya berpeluang besar dilakukan untuk yang kesekian kalinya
yaitu diwilayah sekitar perairan Ambalat dan Sangatta di Kalimantan Timur. Hanya bedanya di wilayah perbatasan itu saat
ini sedang berlangsung “pertempuran emosional” antara pasukan Malaysia yang
bersenjata lengkap dengan gerilyawan Sulu yang mengklaim wilayah Sabah. Tentunya jika konflik itu berkepanjangan,
ketika dilakukan Latgab TNI akan terjadi tontonan yang menarik karena armada
laut Malaysia yang sekarang sedang melakukan patroli laut di perairan Sabah akan
bertemu dengan rombongan besar armada TNI AL yang melakukan show of force.
Jet tempur Golden Eagle akan tiba tahun ini |
Paradigma
yang berbeda dari show of force kali ini adalah armada laut TNI AL sudah
dilengkapi dengan persenjataan yang mematikan seperti rudal yakhont, C802 dan
C705, termasuk tank amfibi terbaru BMP3F.
Rasa percaya diri militer Indonesia tentu sudah jauh menuju kesetaraan segala
matra dengan asumsi titik awal ada di tahun 2014 saat sebagian besar alutsista
modern sudah ada di pangkuan. Meski
secara diplomasi tidak menganggap Malaysia atau Singapura sebagai kompetitor
tetapi tetaplah secara naluri kebangsaan keinginan memiliki alutsista modern
dengan kuantitas dan kualitas yang minimal setara dengan negara tetangga
menjadi idaman kita semua.
Sekedar
ilustrasi catatan keberhasilan ekonomi Indonesia tahun 2012 berdasarkan data
resmi BPS memberikan gambaran tentang pertumbuhan ekonomi stabil selama delapan
tahun dengan rata-rata diatas 6 %, lalu
pendapatan perkapita posisi Desember 2012 telah mencapai US$ 3.850, bandingkan
dengan pendapatan perkapita tahun 1998 yang sebesar US$ 482 dan tahun 2004
sebesar US$ 1.188. Posisi produk
domestik bruto Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan nomor 16
pada tingkat dunia. Bursa saham di
Jakarta pun ikut mekar berkembang yang menunjukkan tingkat investasi yang baik
di negeri ini.
Sejalan
dengan itu target yang hendak dicapai untuk pendapatan perkapita tahun 2014
adalah sebesar US$ 4.800 – 5.000,- sementara
pencapaian tahun 2025 ditargetkan sebesar US$ 13.000 – 16.000 dengan
produk domestik bruto menduduki ranking 12 besar dunia. Tentu saja keberhasilan ini membawa kepastian
akan kekuatan daya beli (purchase power) yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Dan salah satu kekuatan daya beli
itu adalah kekuatan anggaran belanja alutsista.
Belanja alutsista RI dengan ritme pertumbuhan ekonomi dan kekuatan beli
yang dikenal dengan APBN dipastikan akan meningkat tajam apalagi jika komitmen
next government memberikan angin segar bagi perkuatan alutsista TNI.
Ini juga mau datang memperkuat armada RI |
Mestinya
ikut pula terbawa cara pandang yang mampu menilai paradigma ber TNI dan ber
alutsista sejalan dengan perkembangan kekuatan postur TNI. Kenyataannya masih banyak kalangan yang
berpola pikir masa lalu dalam melihat postur TNI yang mendapatkan alutsista
baru. Misalnya dengan tabuhan gendang dari
segelintir oknum “membela yang bayar” dikumandangkan bahwa senjata-senjata itu
nantinya digunakan untuk menggebuk rakyat sendiri. Suara ini didengungkan dan lalu diamini oleh segelintir
rakyat yang kurang paham atau yang sudah punya pola prasangka buruk pada
pemerintah.
Kita harus
akui bahwa masih banyak kekurangan dalam karya di pemerintahan kita, utamanya
korupsi yang masih merajalela atau belum meratanya keadilan hukum bagi semua
pihak. Tetapi harus diakui bahwa
stabilitas ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi dan iklim investasi yang
semakin baik merupakan nilai keberhasilan selama sembilan tahun ini. Dunia mengakui itu tetapi ada sebagian kecil
dari kita yang tidak menganggap itu sebagai keberhasilan. Tetapi setelah kita teliti ternyata kelompok
orang yang bersuara sumbang itu, ya itu-itu saja orangnya dari kumpulan barisan
sakit hati yang memang dibiayai untuk bersuara sumbang sampai-sampai ingin
menggulingkan pemerintah.
Tentara di
republik ini tidak terjun lagi ke dunia politik, tugasnya sebagai komponen
utama pertahanan negara tentu juga menjaga lambang-lambang negara termasuk
Presiden. Oleh karena itu upaya-upaya
yang mengatas namakan rakyat dari segelintir barisan sakit hati tadi yang
mengancam hendak melakukan gerakan inkonstitusional tentu akan berhadapan
dengan tentara dan polisi serta sebagian besar rakyat Indonesia yang punya pola
rasional, perspektif dan prasangka baik.
Hanya saja komponen masyarakat ini tidak terekspos atau tak ingin
tampil.
Menilai
paradigma ber pemerintahan sangat kental hubungannya dengan kosa kata “politik”. Hanya orang waras dan cerdas yang dapat
menilai paradigma adanya kemajuan selama sembilan tahun ini. Tetapi jika sudah ada unsur politisasi maka
nilai paradigma itu tidak mampu dibaca dengan kacamata bening hati. Sama juga
ketika kita melihat pertumbuhan postur TNI yang semakin gagah, nilai paradigma
dari perubahan menuju kekuatan sengat yang berteknologi pasti akan memberikan
nilai kebanggaan. Tetapi jika sudah dimasuki unsur iri, dengki dan nuansa
politis tentu kejernihan menilainya sudah ternoda. Dan itu bukan menilai paradigma dengan
kebeningan hati.
******
Jagvane /
22 Maret 2013