Sunday, August 2, 2020

New Normal Di Laut China Selatan


Demam yang terus menerus di Laut China Selatan (LCS) sepertinya tidak akan pernah kembali normal suhunya seperti dulu lagi. Demam akan terus menerus terjadi sepanjang tahun dan bertahun-tahun. New normal di LCS adalah demam panas itu sendiri. Virusnya bernama nine dash line bersama semburan api lidah naga.

AS dan Australia sudah resmi membentuk aliansi militer dan akan "merekrut" sejumlah negara. India, Filipina dan Jepang sudah berkomitmen untuk bersatu kita teguh. Inggris dan Kanada yang jauh nun disana sudah berkomitmen bersekutu dengan AS. Untuk Korsel meski sekutu dekat AS namun untuk LCS tidak dilibatkan. Biarkan dia menjaga status quo garis demarkasi Panmunjom. Bisa jadi kalau diikutkan aliansi, lalu China memprovokasi Korut, sangat berbahaya untuk Semenanjung Korea. Demikian juga Taiwan.

Armada Angkatan Laut China
Natuna Indonesia ada di kawasan konflik skala besar LCS. Maka Natuna harus kita jaga ketat. Marwah teritori kita dipertaruhkan disana. Dan new normal juga sudah berlaku di kepulauan Natuna. Deru dan raungan jet-jet tempur di bumi rantau nan indah (ranai) sudah biasa. Pasukan brigade komposit dan alutsistanya sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kapal perang kita silih berganti mengawal perairan Laut Natuna Utara (LNU).

Hukum laut internasional memang harus ditegakkan. Meski dengan kekuatan otot militer. Dalam hal ini kita sepakat dengan langkah militer AS dan sekutunya untuk melawan klaim pemilik nine dash line. Tidak lagi atas nama kebebasan navigasi internasional, sekarang AS, Australia dan ASEAN tegas menolak klaim nine dash line China.

Sebagai antisipasi new normal di Natuna, kementerian pertahanan bergerak cepat. Proses pengadaan alutsista strategis dilakukan dengan langkah kilat. Publik kemudian tahu ada alutsista surprise seperti Osprey dan Typhoon yang mau dibeli. Kemudian yang terakhir rencana pengadaan rudal anti kapal Brahmos dari India.

Iver Class, akan memperkuat TNI AL
Sebenarnya saat ini banyak paket pengadaan alutsista yang sedang berproses di Kemenhan. Misalnya pengadaan kapal perang Iver dan lanjutan PKR10514. Juga pengadaan jet tempur F16 Viper, pesawat Hercules, pesawat tanker, pesawat pengintai, helikopter Apache, radar, peluru kendali Nassam, tank amfibi, MLRS.

Industri pertahanan dalam negeri baik BUMN maupun swasta juga kebagian proyek. Matra laut dengan berbagai jenis pengadaan kapal perang KCR, KPC, LPD, LST, BCM. Matra darat dengan proyek tank Harimau, Bushmaster, panser Cobra, panser Anoa. Matra udara dengan proyek helikopter Panther, Caracal, UAV.

Semua industri pertahanan sedang mekar-mekarnya. Terutama sepuluh tahun terakhir. Semuanya dalam bingkai program Minimum Essential Force (MEF) selama 15 tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2024. Program MEF yang digagas dan dimulai oleh Presiden SBY sebenarnya sudah mengantisipasi potensi konflik di LNU.

Namun agresivitas China selama semester I tahun ini dengan memprovokasi negara-negara yang bersinggungan dengan nine dash line nya menjadikan LCS demam tinggi. Padahal seluruh dunia sedang dilanda pandemi Covid 19, tiba-tiba China mempertunjukkan otot militernya. Dunia tersentak, kita juga.

Typhoon, yang sedang trending topic
Itulah sebabnya Kemenhan disibukkan dengan crash program pengadaan alutsista. Kalau kita melihat dan mengamati kesibukan tak biasa dan terus menerus di ruang komando Kogabwilhan Satu, kita semakin paham akan perlunya penambahan alutsista matra udara dan laut. Sungguh betapa bergunanya radar canggih Vera-Ng, radar Weibel X Band yang sudah terpasang di Natuna. Betapa berharganya skadron 51 UAV di Pontianak yang mengirim sejumlah UAV ke Natuna. Betapa pentingnya 3 skadron F16 dan Hawk yang ada di Pekanbaru dan Pontianak. Tapi itu semua belum cukup.

Jelas belum cukup karena kita masih berjuang di wilayah minimum essential force. Belum mencapai target minimum. Lalu ada hot spot berkepanjangan di Natuna. Jadi kita harus segera mendatangkan alutsista strategis secepatnya. Typhoon Austria salah satu pilihan. Barang sudah ada dan masih sedikit jam terbangnya. Anggap sajalah percepatan pengadaan alutsista Kemenhan sebagai langkah new normal. Biasa saja menyikapinya. Gak usah misuh-misuh soal Typhoon dan Osprey. Masih akan banyak kejutan lain soal pengadaan alutsista. Prediksi anggaran khusus alutsista ke depan ada di kisaran angka US$ 24 milyar.

Lihat saja India yang begitu marah dengan China akibat provokasi di perbatasan kedua negara. Lalu proses pengadaan alutsista jet tempur Rafale yang sudah teken kontrak tiga tahun lalu harus dipercepat kedatangannya, kata India. Dan kemarin 5 Rafale sudah sampai di India dengan publikasi luas untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan India menghadapi konfrontasi dengan China.

Jet Tempur F16 Viper, masih proses

Hot spot Natuna adalah pertaruhan marwah teritori kita. Geliat pencapaian MEF dan percepatan pengadaan alutsista adalah new normal, kebiasaan baru, sesuatu yang biasa, wajar-wajar saja. Kita lihat gerakan cepat Menhan berkunjung ke beberapa negara produsen alutsista, terakhir ke Turki dan India. Tujuannya untuk memperoleh alutsista berkualitas dengan harga sepantasnya. Komitmen Prabowo yang patut kita apresiasi adalah meminimalisasi mark up pengadaan alutsista.

Investasi pertahanan setara dengan investasi ekonomi. Karena investasi pertahanan sejatinya untuk menjaga kelangsungan dan kesejahteraan ekonomi sebuah negara. Belanja pertahanan adalah dalam rangka membangun sistem kekuatan pertahanan agar bisa disegani. Dengan itu pertumbuhan ekonomi dan kelangsungannya menuju kesejahteraan menjadi salah satu pijakan kepercayaan diri. Maka kita harus perkuat keduanya.

****
Jagarin Pane / 30 Juli 2020