Sunday, May 17, 2020

De Facto China Sudah Kuasai LCS

Kesabaran China selama setengah abad untuk perlahan tapi pasti menguasai perairan Laut China Selatan (LCS) sudah menampakkan hasil. Perairan strategis dan kaya sumber energi fosil secara de facto sudah dalam genggaman China. Anjing menggonggong kafilah berlalu, begitu kira-kira bunyi nine dash line nya.
Meski AS menentang keras aneksasi halus terhadap LCS, nyatanya sudah terbangun tujuh pangkalan militer China di Paracel dan Spratly. Meski negara-negara ASEAN plus Australia plus Jepang memprotes keras berkali-kali, nyatanya kawasan perairan itu sudah masuk wilayah distrik Xisha dan Nansha China sejak April 2020.
Bahkan mulai Mei 2020 ini China melarang aktivitas apapun di perairan Paracel. Yang terkena pukulan jelas Vietnam karena perairan itu ada di halaman depan ibukota Hanoi. Kemudian dalam waktu dekat China juga akan menerapkan zona identifikasi pertahanan udara yang dikenal dengan istilah ADIZ (Air Defence Indentification Zone).
Salah satu pangkalan militer China di LCS
Yang paling sial tentu Malaysia. Sebab dengan penguasaan LCS dan ADIZ otomatis terputuslah teritori Sabah dan Sarawak dari Semenanjung Malaysia. Belum lagi di selatan LCS ada pangkalan militer Indonesia di Natuna. Kapal perang dan jet tempur Indonesia secara rutin patroli di Natuna. Pak Cik pasti pusing tujuh keliling.
Yang paling tegang tentu Vietnam. Berhadapan langsung head to head dengan Hainan dan Teluk Tonkin yang menjadi home base terbesar di teater selatan angkatan laut dan udara China. Kemudian ada Paracel di depan hidung Vietnam. Apalagi ternyata di halaman ZEE sendiri tidak boleh ada aktivitas nelayan dan eksplorasi minyak. Paman Nguyen pasti nyesek tuh.
Yang paling gondok tentu Filipina. Kapal perangnya sempat dikunci dengan radar tembakan dari kapal perang China April lalu. Sejatinya insiden di Spratly itu todongan bersenjata paling serius yang dialami angkatan laut Filipina. Dan China tidak peduli dan terus mengintimidasi. Tuan Duterte pasang muka marah.
Lantas, bagaimana dengan Natuna. Siapkah kita menghadapi semburan api lidah naga yang semakin panas. Cukupkah hanya dengan nota protes diplomatik berulang kali. Cukupkah dengan menggelar operasi gugus tempur laut dan udara. Jawabnya tidak.
Sekuat apapun militer kita tetap "gak nendang" di mata China. Bahkan semua kekuatan militer negara ASEAN digabung belum mampu menyeimbangkan kekuatan militer China. Itu China yang sekarang. Bagaimana dengan China sepuluh tahun lagi. Jawabnya tak terbendung.
Diponegoro Class, bagian dari armada TNI AL yang canggih
Lantas bisakah mengandalkan AS. Tidak menjamin. Meskipun saat ini AS mengerahkan sejumlah kapal tempur kelas berat ke LCS untuk menekan China. Juga armada kapal selam nuklir yang ada di Pasifik, berikut sejumlah pesawat pengebom nuklir B1B Lancer.
Sebab ada tiga hot spot di dunia ini yang dijaga ketat oleh AS. Yaitu kawasan Asia Timur, kawasan Teluk Persia dan kawasan Mediteranian. Belum lagi kehadiran armada AS untuk Amerika Latin. Jadi AS tidak fokus ke LCS. Walaupun saat ini AS sedang unjuk taring dengan mengerahkan kapal selam nuklir dan pesawat pengebom nuklir ke LCS.
Oleh sebab itu perlu strategi besar dan cerdas menghadapi China. Harus ada inisiatif dari sejumlah negara di kawasan untuk menyatukan sikap. Dan ini yang sampai sekarang tidak muncul-muncul. Perlu mengikutsertakan India, Australia, Jepang dan AS masuk dalam aliansi pertahanan bersama negara ASEAN.
Harus ada inisiatornya. Harus ada diplomasi ulung yang mampu mengajak peran bersama. Ini kerja besar dan berat. Yang jelas AS tidak mau bermain sendirian menghadapi China. Harus keroyokan, itu model AS. Apalagi ini China, raksasa yang sedang menggeliat kuat.
Maka prediksi kita kedepan adalah akan tercipta dua blok baru. Dan terjadi perang dingin sebagaimana era tahun delapan puluhan antara NATO dan Pakta Warsawa. LCS menjadi area titik panas yang rawan meledak. Dan itu ada di depan mata kita, di halaman depan rumah kita.
Maka kita harus bersiap untuk kondisi terburuk. Persiapannya seperti makna Si Vis Pacem Parabellum. Jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Dan siapkanlah perkuatan alutsista yang setara. Dengan durasi waktu yang singkat. Jangan lagi ngomong tigapuluh tahun tidak akan ada musuh.
Pada tataran diplomasi harus ada model persekutuan baru untuk membendung ekspansi China. Tidak bisa ditunda lagi. Sebab kalau masih memakai model konvensional seperti sekarang ini, sendiri-sendiri berteriak, kirim nota protes mengecam keras, tidak akan berpengaruh bagi China. Sekali lagi anjing menggonggong kafilah berlalu. Emang gua pikirin, katanya.💪💪ambil muter LCS.
****
Jagarin Pane/ 17 Mei 2020