Friday, May 3, 2019

Pelajaran Dari Parchim Class


Nama Tjiptadi, seorang kapten angkatan laut Indonesia yang gugur bersama Yos Sudarso dalam pertempuran Arafuru tahun 1962 menjadi terkenal hari-hari belakangan ini. Melalui sebuah kapal perang yang didedikasikan untuk namanya, KRI Tjiptadi 381, insiden penabrakan yang dilakukan kapal pengawas nelayan Vietnam di perairan Natuna Sabtu siang 27 April 2019 membuat nama pahlawan itu muncul ke permukaan.

KRI Tjiptadi 381adalah salah satu dari kapal perang Parchim Class yang dibeli Indonesia dari bekas negara Jerman Timur tahun 1990an.  Jumlah kapal perang bekas yang dibeli waktu itu berkat lobby BJ Habibie mencapai 39 kapal perang berbagai jenis, enambelas diantaranya adalah kapal striking force Parchim Class.

Soal insiden di Natuna itu, langkah yang diambil awak kapal perang KRI Tjiptadi 381 sudah tepat.  Bersabar dan tidak terpancing provokasi kapal pengawas nelayan Vietnam yang banyak karatnya. Toh “barang bawaannya” berupa tahanan belasan awak kapal nelayan Vietnam tetap diproses hukum dan kapal nelayan Vietnam sudah ditenggelamkan sendiri oleh kapal pengawasnya.

Sudah ada tiga armada tempur, tinggal memenuhi isiannya
Natuna itu sesungguhnyaadalah hot spot yang harus terus diawasi dan dikawal teritorinya. Disana ada tumpang tindih perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dengan China yang mengklaim sebagian besar Laut China Selatan (LCS) ada hot spot berbahaya, dengan Vietnam juga saling klaim ZEE dengan kita.

ZEE bukan teritori kedaulatan lho, dia hanya kawasan dimana isi perairan termasuk ikan dan mineral didalamnya dikuasai oleh negara yang menarik batas ZEE 200 mil dari pantai terjauhnya. Makanya tidak boleh sembarangan umbar tembakan di ZEE karena itu jalur pelayaran bebas untuk semua negara.

Mengapa Vietnam begitu galak karena memang negeri itu punya militansi patriotik yang hebat.  Juga karena dia sedang keras-kerasnya berkonflik klaim dengan China di LCS. Militansi patriotik Vietnam sudah terbangun sejak perang Vietnam, dan semakin membanggakan ketika mereka mampu mengusir AS dari negerinya tahun 1970an. Nah sekarang mereka lagi panas-panasnya berseteru dengan China soal Spratly dan Paracel. Jadi adrenalin si Vietnam mudah tersulut dan mendidih.
Kapal selam juga semakin bertambah, sudah ada 5 unit
China seperti diketahui mengawasi ketat perairan LCS sepanjang teritori Vietnam.  Tidak ada celah ruang masuk bagi Vietnam untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE nya di LCS termasuk mencari ikan. Akhirnya para nelayan Vietnam yang “ruang operasinya” semakin dipersempit bergerak kearah selatan dan tenggara, ketemulah dengan Anambas dan Natuna.

Maka pelajaran dari insiden kemarahan Vietnam yang kesekian kalinya ini harus disikapi dengan cara pandang horizon dari pemikir strategi pertahanan di tanah air.  Jangan lagi bilang dua puluh tahun ke depan tidak ada ancaman teritori atau invasi ke teritori negeri tercinta ini. Di depan mata sudah terlihat demamnya LCS begitu tinggi. Bisa saja bisul itu pecah kan.

Angkatan Laut dan Angkatan Udara kita mutlak wajib fardhu ain dilaksanakan Pemerintah bersama syarat-syarat dan rukun-rukunnya untuk dikembangkuatkan, dibesarhebatkan dengan menambah kuantitas dan kualitas alutsista penggebuk. Anggaran sudah disediakan, tinggal pakai, tahun depan dapat porsi terbesar 126 T. Jumlah itu pun masih bisa bertambah, tinggal DPR sama Pemerintah bersinergi, tidak ada yang tidak bisa untuk membangun pertahanan negeri luas ini.

MEF jilid tiga sudah tinggal hitungan bulan, artinya bergegaslah mengeksekusi belanja-belanja yang sudah direncanakan, kan duitnya sudah ada, tinggal mengelola sistem multy yearsnya.  Jangan kelamaan mikir, lihat tuh Vietnam anggaran belanja alutsistanya lebih kecil dari kita tapi kuantitas dan kualitas alutsistanya lebih wah. Ada 6 kapal selam Kilo, ada 30 jet tempur Sukhoi, ada alutsista sistem pertahanan pantai dan lain-lain.

Armada satu TNI AL yang berbatasan dengan banyak negara mestinya lebih hebat dari Armada dua atau minimal setara perlengkapan alutsistanya.  Meski sudah diperkuat Bung Tomo Class, Sebagian Parchim Class, Clurit Class dan Fatahillah Class, sangat mendesak penambahan armada striking Force misalnya Martadinata Class.

Caranya ditambah dong kuantitas produksi Martadinata Class dari yang sekarang hanya dua biji menjadi enam biji gitu dan gak pake lama.  Penambahan KRI jenis Destroyer semacam Iver Class bisa dipercepat dan setidaknya kita butuh empat unit, beli sekaligus. Termasuk juga penambahan kapal-kapal BAKAMLA ukuran besar, dipercepat pengadaannya. Untuk perairan Natuna minimal dibutuhkan 6 kapal BAKAMLA ukuran besar.
KRI Fatahillah 361, sudah diperbaharui jeroannya
Natuna yang sudah jadi pangkalan militernya, adalah jawaban terhadap situasi konflik yang demam terus menerus. Maka alutsista gebuknya juga harus dihadirkan lebih banyak dan lebih berkualitas. Jangan sampai arhanud S60 yang kesana, ntar diketawain sama Laos. Natuna adalah benteng terdepan yang harus mencerminkan kekuatan pre emptivenya.

Penting juga adalah mengkomunikasikan progress pengadaan alutsista kepada khalayak.  Ini adalah bagian untuk memupuk semangat bertanah air. Semua sudah sepakat bahwa negeri kepulauan yang luas ini perlu dibentengi dengan pertahanan yang kuat. Anggaran sudah disediakan, tinggal bagaimana memanfaatkannya secara manajemen. Komunikasikan dengan khalayak disamping berkoordinasi dengan user TNI.

Berkali-kali sudah kita sampaikan bahwa perkuatan militer kita bukan untuk persiapan perang atau berkonflik melainkan untuk menampilkan postur kekuatan militer yang gagah dan disegani. Dengan postur militer yang kuat dan disegani maka jalan cerita diplomasi kita akan dihargai. Tak kalah pentingnya adalah kewibawaan teritori kita bernilai marwah dan mampu mengeliminasi ngamuknya tetangga.

****
Solo, 3 Mei 2019
Jagarin Pane