Saturday, October 21, 2017

Santri Tentara, Tentara Santri

Selama puluhan tahun tidak terjawab siapa sebenarnya yang membunuh Jendral Aubertin Walter Sothern Mallaby di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945 malam hari.  Selama waktu itu pula belum terjawab mengapa begitu heroiknya rangkaian pertempuran di kota Surabaya, padahal organisasi tentara baru saja dibentuk.  Bagaimana mereka para pemuda memobilisasi kekuatan yang demikian hebatnya untuk melawan ribuan tentara Sekutu dari Brigade 49  Divisi 23 The Fighting Cock Inggris yang kenyang pengalaman tempur PD II.

Fakta sejarah yang selama ini diabu-abukan dalam buku sejarah kita akhirnya diperjelas hitam putihnya. Faktanya adalah dalam sebuah kemelut yang terjadi di Jembatan Merah Surabaya Jendral  Malllaby ditembak oleh seorang pemuda santri. Hal ini juga dipertegas oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo baru-baru ini. Bahwa pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945 sesungguhnya didominasi oleh peran para santri dan lasykar santri karena TNI sendiri baru lahir 5 Oktober 1945.
Mobil Brigjen Mallaby yang terbakar habis
Resolusi Jihad yang dikeluarkan di Surabaya dalam pertemuan para ulama se Jawa dan Madura tanggal 21-22 Oktober 1945 adalah pemicu pertempuran besar itu. Resolusi ini memberikan semangat yang luar biasa bagi para pemuda santri untuk berjuang membela tanah airnya. Aliran tentara Sekutu yang merembes di berbagai kota besar di Indonesia khususnya pulau Jawa memberikan kesan seakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dianggap pernyataan ompong. Maka puluhan ribu pemuda santri dan lasykar Islam tampil menunjukkan kekuatannya.

Saat ini nilai kejuangan para santri dicatatkan dalam sejarah tanah air dengan menetapkan tanggal 22 Oktober setiap tahun sebagai hari santri nasional, mulai tahun 2015. Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari tanggal 22 Oktober 1845 adalah nilai emasnya. Mengapa baru sekarang ditetapkan. Jawabnya karena baru lima tahun terakhir ini kita “sadar diri”. Baru bisa merenungkan dengan jernih tanpa politisasi makna perjuangan para santri yang selama ini dianggap tidak bergaung di kancah perang kemerdekaan.

Para santri dan ulama adalah komponen hijau daun tanah air yang mampu memberikan kesejukan pada warna republik meskipun sering diganggu oleh hiruk pikuk kemarahan dan sumpah serapah dari daun-daun yang lain. Disitulah nilai tambahnya, tidak mudah terpancing meski sudah diatas ubun-ubun “serangan artilerinya”. Santri sejati dan ulama adalah perekat nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Wathoniyah meski sering menjadi obyek pelengkap penderita dari tema-tema penghasutan.

Para santri dan kader militan dari komponen hijau daun yang berkarakter nahdliyin adalah komponen terbesar yang masih bisa menjadi indikator stabilitas perjalanan eksitensi negeri ini. Jumlah ini ada puluhan juta di tanah air, karakternya menyejukkan dan tak suka ribut. Meski berkarakter low profile dan sering menjadi obyek cemoohan karena tak mampu berkonsolidasi, sekali waktu perlu melakukan show of force untuk menunjukkan kekuatan militan hijau daun “berkarakter tentara”.

Maka di puncak Gunung Lawu Tawangmangu dipertunjukkan kekuatan militan itu tanggal 14-15 Oktober 2017. Puluhan ribu kekuatan militan santri dan ulama hijau daun berkumpul dalam semangat bertanah air yang kuat, ghiroh menjaga republik, hubbul wathon minal iman.  Kader militan hijau daun sekali waktu perlu mempertunjukkan jati dirinya yang nasionalis religi karena itu adalah amanah, bahwa mencintai tanah air dan membela tanah air adalah sebagian dari iman.

Sementara itu doktrin tentara kita jelas, mati terhormat demi kejayaan NKRI.  Pemerintah saat ini sedang membaguskan kekuatan alutsista tentaranya yang juga berseragam hijau daun.  Semua dibenahi, infrastruktur berupa pangkalan militer dibangunbesarkan. Berbagai jenis alutsista canggih didatangkan untuk memperkuat benteng pertahanan republik. Ini dilakukan demi marwah teritori NKRI, demi kedaulatan NKRI, menjaga eksistensi bernegara dengan segala dinamikanya.
Puluhan ribu Santri dan Ulama berkumpul di Gn Lawu
Para santri kita sesungguhnya juga berjiwa tentara terutama jika disejajarkan bangunan nasionalismenya, semangatnya untuk mencintai tanah airnya. Sejarah santri adalah lembaran-lembaran untuk selalu mencintai Indonesia.  Resolusi jihad adalah bukti ketika proklamasi 17 Agustus 1945 dianggap tidak ada. Puluhan ribu pemuda santri dengan lasykar-lasykarnya bersama dukungan ulama melakukan pertempuran hebat di seluruh Indonesia.

Kurikulum tentara adalah kontrak mati pada NKRI, garda terdepan untuk melindungi, menjaga dan menjamin eksistensi NKRI.  Sesungguhnya karakter tentara dan karakter Santri adalah sama, mencintai tanah air, membela tanah air dan pilar-pilar didalamnya.  Tentara hijau daun dan santri hijau daun adalah dua komponen yang saling menguatkan dan menghebatkan. Yang satu dengan kekuatan alutsista, yang satu lagi dengan kekuatan doa.
 
Maka ketika tampilan menggemuruh puluhan ribu santri dan ulama Nusantara di Gunung Lawu beristighosah dan berikrar di pagi sejuk ba’da Subuh, tanpa publikasi luas, itu adalah pesona heroik hijau daun yang ingin menyampaikan pesan indah. Bukankah tanah air ini alamnya begitu ramah, bukankah ukhuwah kita begitu barokah, bukankah kebersamaan ini begitu karomah. Bukankah hijau daun itu pesona indah.

Hijau daun itu adalah tentara dan santri. Hijau daun itu adalah amanah, istiqomah, fathonah. Untuk memberikan suasana sejuk dan nyaman ber Indonesia nan indah. Ini bukan soal berpemerintahan, ini soal bernegara. Bagi kita mencintai bangsa ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang sedang berkuasa karena bangsa ini lebih mahal nilainya dari sekedar ribut ribut soal kekuasaan dan pemerintahan.  Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2017.
*****
Jagarin Pane /19 Oktober 2017