Tuesday, February 7, 2017

Ketika Tentara Kyai Murka

Selama empat hari terakhir suasana Republik tercinta hiruk pikuk oleh sebuah sebab yang sama, aktor yang sama dalam sebuah judul sinetron kisah nyata “ Nista Yang Tak Pernah Padam”. Berbulan-bulan kita disuguhi sajian alur cerita dengan menggoreng adrenalin, memupuk kebencian, memanen murka.  Hanya karena ulah satu orang yang menanam bibit permusuhan kebhinekaan maka yang merasakan adalah sebagian besar rakyat Republik yang sejatinya adalah lem perekat kebhinnekaan itu.

Suka atau tidak suka lem perekat dominan di Republik nasionalis ini adalah Ukhuwah Islamiyah dan kultur Jawa. Ukhuwah Islamiyah mampu mendekatkan keragaman suku dalam bingkai kesamaan religi untuk merawat Republik.  Demikian juga dengan kultur Jawa yang menjadi suku mayoritas anak negeri, adalah sebuah kultur yang menjunjung nilai budaya: Menang tanpa ngasoraake, ngluruk tonpo bolo. Wujudnya adalah senantiasa bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu.

Berbulan bilang energi Republik habis terkuras untuk sebuah tema nista yang direbus terus menerus yang menyebabkan iklim negeri menjadi kerontang, padahal kita sedang ada di musim hujan yang basah dan dingin. Nah ditengah iklim yang sejuk tapi kerontang itu sekali lagi diperlihatkan suara menggema di serial sidang dalam aura pelecehan marwah, berlagak sebagai kawan Tuhan, mengatasnamakan Tuhan, dan punya bukti dari Tuhan lalu mengancam akan mempermalukan.


Padahal di awal serial meja hijau, seseorang itu menampilkan suara isak dan derai air mata, terbata-bata mohon dimaafkan. Lalu karakter arogansi muncul lagi, main ancam, main gertak, berlagak sebagai Jaksa padahal Terdakwa. Dia tak tahu atau atau pura-pura tak tahu yang diancam adalah pemimpin tertinggi dari “Republik Kyai” sebuah organisasi keagamaan santun dan teduh terbesar di negeri ini bahkan di seluruh dunia, “rakyatnya” yang bernama Nahdliyin hampir menyentuh bilangan 90 juta.

Maka murkalah Nahdliyin, maka murkalah Jamaah yang mengamalkan Tahlil dan Qunut.  Maka sibuklah petinggi keamanan negeri untuk menyejukkan suasana, padahal hujan sudah berkali-kali membasahi Republik, namun kali ini tak mampu mendinginkan “lapangan rumput” yang sering diinjak-injak harga dirinya. Kalau kita bisa mengamati traffik lalulintas yang bernama telepon, SMS, WA, Line, FB dan lain-lain, situasi di “lalulintas transmisi “ itu benar-benar mencerminkan suasasana Republik yang gelisah memanas.

Ketika tentara Kyai murka, lakon kembali dipertunjukkan dengan menampilkan air muka dan tutur kata minta maaf, mohon dimaafkan, tidak ada maksud ini itu dan seterusnya. Sebegitu mudahkah, di hari ini mempertontonkan arogansi, di hari lain memperlihatkan wajah iba dan minta dikasihani.  Bukankah ini ciri pribadi yang labil, yang tak mampu menguasai emosi dan jelas tak cocok jadi pemimpin.

Secara Jamiyah para tentara Kyai yang bernama Banser, Anshor, Santri akan mengikuti garis komando panglima Kyai Rois Aam. Kalau Rois Am bilang dinginkan suasana, semua mengiyakan. Itu secara Jamiyah, tetapi secara Jamaah tentu perlu waktu untuk mendinginkan suasana.  Sebagaimana disampaikan KH Said Aqil Siroj, “Kepala Staf Manajemen Kyai”, ketersinggungan Nahdliyin perlu waktu untuk menetralisirnya.

Ketika suasana murka dan panas itu berkecamuk, Kyai Said sampai kerepotan mengatur Anshor dan Banser yang sudah siap membanjiri Jakarta.  Untunglah suasana di permukaan organisasi alias Jamiyah Nahdliyin mampu diredakan meski belum tuntas secara Jamaah. Harus dibedakan Jamiyah dan Jamaah ya. Jamiyah itu esensinya adalah organisasi dan Jamaah itu adalah isinya organisasi. Jadi kalau ada ummat yang mengamalkan Tahlil dan Qunut sudah pasti dia adalah Nahdliyin meski belum tentu ada di Jamiyah. Makanya Kesultanan Brunai yang mengamalkan Tahlil dan Qunut adalah Jamaah Nahdliyin, itu contohnya.



Sebagaimana disampaikan KH Mustofa Bisri bahwa Kyai dan Ulama yang ada di Indonesia itu hakekatnya sama. Mereka mewakafkan dirinya untuk masyarakat, memberikan pelajaran ilmu pada Santrinya, memberikan contoh adab dan akhlak. Dengan memberikan contoh akhlak dan adab itu, maka terlihat garis wajah dan laku sikap para Nahdliyin yang tak pernah menampilkan keangkuhan beragama, bersikap toleran dan menghargai perbedaan.  Itu yang membuat bandul Republik kita terjaga juga kesantunannya sebagai negeri Rahmatan Lil Alamin.

Nista yang tak pernah padam, boleh kita sandangkan pada sang aktor.  Pribadi yang labil, arogan tetapi kemudian karena terdesak lalu menghiba, terisak, terbata-bata, lalu kembali membentak, menghina, mengancam.  Lengkap sudah.  Tetapi kali ini dia berhadapan dengan kemurkaan tentara Kyai di Republik Nahdliyin.  Ketika murka sudah sampai diubun-ubun, dia menghiba lagi dan mohon maaf. Duh Gusti, kemarin sudah menista agama, sekarang menista Ulama. Benar-benar nista yang tak pernah padam. Dia lupa bahwa "alutsista" yang paling gahar dari para Kyai dan tentara Kyai adalah DOA.

Jadi mirip sebuah pepatah lama, “Gara-gara dia setitik rusak Jokowi sebelanga”.  Pemerintahan kita mestinya cerdas menyikapi gerak lagak orang ini. Bukankah menjadi pemimpin harus mampu menjaga lisan dan sikap, mampu memberikan ketenangan kepada masyarakat yang dipimpinnya.  Dan masyarakat pun ikut senang dengan model kepemimpinannya.  Hanya karena satu orang ini rusak tatanan kebhinnekaan, rusak tatanan kerukunan berbangsa, habis energi anak negeri membahasnya.  Untung saja kemurkaan tentara Kyai bisa dikendalikan. InsyaAllah Republik Khatulistiwa ini masih berada dalam ridho Allah SWT, amin.
****

Jagarin Pane / 05 Feb 2017