Saturday, December 17, 2016

Menyikapi Raptor Di Darwin

Amerika Serikat dan Australia sudah sepakat untuk menempatkan jet tempur siluman raptor F22 di Darwin awal tahun depan. Urgensi kehadiran jet tempur generasi kelima ini adalah untuk mengimbangi gerak militer Cina yang begitu cepat di Laut Cina Selatan (LCS). Tetapi bukankah dengan itu berlaku pepatah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Sebuah negeri kepulauan yang ada di utara Darwin layak berhitung cermat dengan kehadiran 1 brigade pasukan Marinir dan F22 AS di utara Australia itu.  Negeri kepulauan itu saat ini sedang memodernisasi militernya untuk pertahanan teritori dari ancaman yang sudah nyata, Ambalat dan Natuna. Kehadiran militer AS di depan hidung Kupang tentu menggelisahkan dari kacamata militer.

Dengan begitu setidaknya perhatian pertahanan yang selama ini fokus di utara negeri kemudian harus juga memperhatikan halaman belakang yang warna militer didekatnya begitu kental dan kuat. Pemusatan kekuatan militer di Darwin dan Australia Utara tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang biasa. Perlu ada tambahan perkuatan militer di Kupang dan sekitarnya secepatnya.
Jet tempur F22 Raptor
Hadirnya F22 memberikan persepsi betapa telanjangnya Jakarta, betapa terbukanya  Surabaya dan Timika  manakala terjadi arogansi militer negara adidaya yang bisa saja terjadi dalam perjalanan berteritori ke depan. Yang jelas Indonesia ada dalam jangkauan jet-jet tempur siluman itu dan menjadi jalur utama perjalanan Darwin – LCS.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan serial cerita pembelian jet tempur Sukhoi SU35 yang tersendat-sendat itu.  Kita katakan serial karena setiap membicarakan sinetron SU35 gak pernah ada titik ujungnya apalagi klimaksnya.  Padahal yang mau dibeli hanya 8-10 biji dan anggarannya pun sudah tersedia sejak beberapa  tahun lalu. Entah kenapa kok proses beli nya begitu sulit atau memang memakai logika ini: kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah. 

Sementara tetangga kita Singapura sedang menunggu kedatangan jet tempur F35 yang setali tiga uang kesilumanannya. Jadi di bawah kita ada jet tempur F22, disebelah kiri ada jet tempur F35. Lalu kita sendiri masih “mendramatisir” proses pembelian Sukhoi SU35 dengan berbagai persyaratan.  Capek juga mengikuti proses drama itu.
Jet tempur Sukhoi SU35
Apakah sebenarnya kita berangkat untuk menjalankan konsep membangun pertahanan berbasis “bangsaku” atau pertahanan berbasis “bank saku” alias komisi gede untuk pembelian alutsista. Kisah seorang Kolonel yang ketahuan menilep uang negara sebesar US $ 12 juta untuk pembelian F16 dan Apache adalah tamparan untuk Kemhan yang dipermalukan awaknya sendiri dalam manajemen pembelian alutsista.

Sementara negara lain terus berupaya membesarkan nilai pertahanannya. Vietnam dalam waktu empat tahun sudah bisa mendatangkan 5 unit kapal selam Kilo, dan 24 unit jet tempur Sukhoi Su27/30, sudah datang semuanya.  Sementara kita butuh waktu 10 tahun untuk mendatangkan  kapal selam baru.  Hasilnya 3 biji Changbogo, barangnya pun baru mau datang tahun depan. Program pengadaan 24 F16 blok 52 id yang ditandatangani tahun 2012 mestinya proyek itu sudah selesai akhir tahun ini.  Kenyataannya masih ada 9 unit F16 yang belum sampai di tanah air.

Kementerian Pertahanan sebagai pintu gerbang proses pengadaan alutsista adalah kementerian pemegang anggaran APBN terbesar mulai tahun depan. Artinya perhatian pemerintah dan parlemen soal perkuatan pertahanan teritori cukup besar. Kemhan boleh jadi adalah kementerian basah dengan kucuran anggaran, akan tetapi jangan sampai “basah kuyup” karena perilaku oknum.

Anggaran terbesar harus dikelola dengan profesional dan transparan. Kemhan harus lugas dan cerdas memetakan potensi ancaman, bergerak cepat, beli alutsista setara, untuk memastikan keseimbangan teknologi terkini yang dimiliki. Tidak melulu ngurusin program bela negara.  Program bela negara perlu tetapi bukan segala-galanya. Teknologi alutsista itu juga penting dan harus dimiliki di alam nyata bukan di alam maya.

Halaman belakang rumah yang bernama NTT, Arafuru, Merauke harus dipoles dengan penempatan sejumlah alutsista modern. Syukurlah sudah ada program menempatkan sejumlah jet tempur di Kupang dan pembangunan batalyon arhanud di NTT serta tambahan kapal perang.  Tetapi bukan sekedar persebaran jet tempur atau kapal perang saja, penting dan mendesak adalah penambahan kuantitas dan kualitas alutsista seperti Sukhoi SU35, Fregat dan kapal selam secepat-cepatnya.

Raptor dan marinir AS di Darwin jelas ancaman meski dalam kacamata diplomatik kita berkawan baik dengan AS dan Australia. Tetapi dalam perjalanan dinamika diplomatik itu semuanya berbungkus kepentingan nasional dan tuntutan pemenuhan sumber daya alam. Di bingkai itu AS mudah berubah pikiran apalagi besok dipimpin Donald Trumph yang sangat nasionalis itu.

Jawabannya jelas, perkuat secepat mungkin militer kita. Beli Sukhoi tidak lagi 8 biji tapi minimal 1 skuadron alias 16 biji. Jumlah kapal selam juga dipercepat proses pembangunannya.  Sudah ada infrastruktur kapal selam di PAL Surabaya. Jadi bisa dibuat paralel masing-masing di Korsel dan Surabaya.  Demikian juga dengan kapal-kapal permukaan, lanjutkan proyek PKR 10514, teruskan proyek KCR. Jangan sampai telat mikir atau kebanyakan mikirin komisi sehingga makna pertahanan berbasis bangsaku berubah menjadi pertahanan berbasis bank saku.
****

Jagarin Pane / 17 Desember 2016