Saturday, April 2, 2016

Mengelola Empat Titik Panas

Dinamika perjalanan bernegara di setiap negara mengharuskan masing-masing negara memiliki kekuatan militer sebagai pengelola otot kedaulatan negara.  Demikian juga dengan negeri kepulauan khatulistiwa ini.  Dinamika yang terjadi dalam hitungan minggu saja mengharuskan militer Indonesia mengelola empat titik panas( hot spot) sekaligus dalam sebuah “musim tak terduga”.  Empat titik panas itu adalah Poso, Natuna, Tarakan dan Ambalat.

Insiden dengan kapal penjaga pantai Cina di perairan Natuna belum lama ini membuat Jakarta mengepalkan tinju lalu mengirimkan 5 jet tempur F16, 6 KRI, perangkat radar mobile, pasukan infantri, marinir dan paskhas ke Natuna. Dalam waktu yang bersamaan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) yang terdiri dari pasukan Kostrad, Marinir dikirim ke Tarakan bersama belasan KRI, puluhan tank amfibi dan jet tempur Sukhoi.  Ini juga bagian dari kemarahan republik atas penyanderaan warga kita oleh gerilyawan Abu Sayyaf meski format resminya adalah untuk latihan gabungan obyek vital.
Kita butuh kapal selam minimal 12 unit
Sementara itu untuk hot spot yang lain, Poso sudah digelar operasi gabungan tentara dan polisi untuk “mateni” Santoso. Sedikitnya ada 1 brigade tentara dan 1 brigade polisi mengepung ketat teroris bersama pengikut setianya.  Demikian juga Ambalat selalu disiagakan 5-7 KRI untuk berpatroli termasuk melakukan manuver interoperability dengan matra lain, sebuah simulasi untuk pertempuran laut yang sesungguhnya.

Pada saat mengelola empat titik panas ini, dibagian lain bumi Indonesia ada hajat besar dan bergengsi berupa latihan gabungan angkatan laut bersama negara-negara sahabat.  Kita mengerahkan 15-17 KRI berbagai jenis ke pantai barat Sumatera, tepatnya Padang dan sekitarnya untuk melaksanakan latihan kerjasama Multilateral Exercise Komodo 2016 tanggal 12-16 April dengan 35 negara lain.

Dalam manajemen militer tentu suasana ini memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi karena mengelola empat hot spot tentu memerlukan energi ekstra dan stamina kuat.  Pada akhirnya tumpuan utama dari kesiap siagaan itu adalah ketersediaan alutsista yang mencukupi dan berkualitas.  Bisa dibayangkan bagaimana mendistribusikan perangkat alutsista untuk empat titik panas dan satu event internasional dimana kita jadi tuan rumah.
Sukhoi di Tarakan, pengawalan kontinu
Belajar dari musim tak terduga ini (tapi kita ini bolak balik belajar tapi gak paham juga) seyogyanya perencanaan kebutuhan alutsista benar-benar diupayakan sehebat mungkin.  Tidak lagi dibenturkan dengan ketersediaan anggaran tetapi kebutuhan altusista itu mutlak harus diadakan.  Memang perkuatan dan belanja alutsista saat ini sudah menuju ke arah getar tetapi diperlukan percepatan pesan, percepatan kedatangan dan percepatan operasional.  Sebagai contoh lihat saja proses pengadaan 24 jet tempur F16 up grade, sudah lebih 4 tahun yang datang baru sepertiganya.

Kita butuh 12 kapal selam bermutu, dari lima belas tahun yang lalu selalu diperdengarkan lagu itu.  Tapi nyatanya sampai hari ini baru ada 2 kapal selam tua.  Agak terhibur juga karena sebentar lagi mau datang 3 kapal selam baru dari Korea Selatan. Tetapi ketika kita dapat tambahan 3 kapal selam baru, Singapura sudah punya 6 biji, Vietnam sudah punya 5 biji baru semua.  Apalagi kalau bicara Cina, jelas gak nendang.

Belum lagi kapal perang permukaan laut, baru sampai ke tingkat fregat ringan.  Padahal untuk mengawal perairan laut yang luas ini kita butuh kapal perang kelas destroyer. Belum lagi melihat kekuatan udara yang belum sepadan dengan ruang tugas yang harus diemban.  Kalau hanya punya 1 skuadron Sukhoi hanya bagus untuk dipamerkan tapi belum mampu membentengi kedaulatan udara republik tercinta ini.

Rasanya kok jadi gak sabar ya melihat kritisnya mengelola empat hot spot dengan kekuatan alutsista yang ada.  Ayo buat dong langkah out of the box, over the horizon, duduk bersama bersepakat Pemerintah, DPR lalu keluarkan doktrin baru atau dekrit baru sehubungan dengan ini, sehubungan dengan itu dan seterusnya. Lalu belanja alutsista sehebat mungkin.

Changbogo bisa dibuatkan paralel di Surabaya dan Korsel.  Atau pesan 2-4 Kilo sebagai alutsista penguat. Sukhoi SU35 juga ditambah tidak hanya 10 biji tapi dua skuadron kebutuhannya.  Kapal perang permukaan jenis korvet, fregat dan destroyer segera ditambah secepat mungkin.

Alutsista kita masih kalah cerdas dan kalah banyak jika ingin dipersandingkan dengan ruang wilayah yang sangat luas ini, apalagi jika ingin mencapai cita-cita poros maritim.  Kekuatan poros maritim ada di angkatan laut dan angkatan udara, maka dua matra ini menjadi fokus utama dan penting untuk dibenahi, dimodernisasi, digaharkan dan dibanggakan.

Kita hanya ingin mengingatkan ketika tahun-tahun awal reformasi, TNI mengawal 3 hot spot yang banyak menghabiskan energi yaitu konflik horizontal Maluku, konflik bersenjata Timor Timur dan Aceh. Ketika TNI kita sedang disibukkan dengan tugas berat itu, tetangga sebelah berulah dan mengambil Sipadan Ligitan.

Jangan dikira Natuna itu tidak terancam meski berulang kali dikatakan kemenlu Cina bahwa dia tidak keberatan Natuna milik Indonesia.  Omongan diplomatik itu sesuai musimnya, kalau musim panas dia bilang “ini itu” tetapi jika musim hujan dia bilang “itu ini”.  Namanya juga diplomasi tentu sesuai kepentingan nasionalnya.  Nah jalan satu-satunya adalah perkuat otot kedaulatan, perkuat militer sekuatnya. Dengan militer yang kuat dan bersemangat sangat diniscayakan omongan diplomasi kita akan diperhatikan.
****

Jagarin Pane / 02 April 2016