Monday, February 8, 2016

Natuna After 2018

Boleh dibilang hot spot paling strategis sekaligus paling bergengsi untuk dikawal dan dijaga ketat tidak lain adalah Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan (LCS).  Saat ini pembangunan pangkalan militer sedang berjalan disana dengan anggaran ratusan milyar untuk membesarkan pangkalan udara dan laut yang sudah ada saat ini. Tujuannya jelas agar Natuna mampu menjadi pusat pertahanan teritori berkarakter lebah berikut isian segala macam alutsista.

Natuna memang harus disaranglebahkan dalam pola pertahanan teritori agar keinginan untuk mengganggu apalagi mencaplok dari penganut ekspansionis setidaknya bisa terhalangi.  Meski tidak tertutup kemungkinan sarang lebah itu mampu dibakar habis oleh kekuatan besar itu melalui pertempuran terbuka skala besar.  Jujur saja kalau berhadapan head to head secara militer jelas kita kalah kelas dengan si lidah naga.

Armada KRI, menegakkan teritori laut NKRI
Sejalan dengan itu pangkalan udara Supadio di Kalbar juga dikembangkuatkan sebagai basis militer respon cepat dan bersama pangkalan AL Pontianak berfungsi sebagai pangkalan sinergitas dengan pangkalan militer di Natuna. Indonesia tidak lagi main-main dengan diplomasi gaya Cina yang manis dibibir tapi pahit di kenyataan.  Nyatanya Cina telah membangun pangkalan militer skala besar di pulau karang Fiery Cross Spralty yang jarak tempurnya mampu menjangkau Natuna.

Indonesia after 2018 adalah sebuah wajah yang diyakini punya kemampuan ekonomi dan militer yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Khususnya pembangunan kekuatan militer maka mulai tahun 2018 kekuatan pengawal republik sudah mendapatkan titik tumpu pertahanan yang mampu mengcover seluruh wilayah tanah air. Wilayah yang masih bolong saat ini, ruang udara Bengkulu, Tambolaka, Morotai, Singkawang sudah dicover oleh instalasi radar militer canggih. Termasuk juga alat cegat, usir dan pukulnya sehingga “doa selamat” yang dilantunkan di satuan radar Saumlaki sudah mampu dijalankan oleh jet tempur yang disebar Kohanudnas di beberapa titik tumpu pertahanan udara.

Natuna after 2018 adalah etalase hilir mudik alutsista taktis dan strategis TNI.  Bergantian jet tempur Sukhoi SU35, SU30, SU27, F16, T50 mendatangi pangkalan udara Ranai untuk saling isi, saling lengkap, saling sinergi menjaga pagar teritori yang di utara perairannya sudah ada gerakan militer saling intip antara penganut klaim teritori. Demikian juga dengan pangkalan AL Natuna sudah disebar berbagai jenis KRI kombatan, Ahmad Yani Class, Diponegoro Class, Bung Tomo Class, Martadinata Class, dan tentu saja kapal selam. Bergiliran hilir mudik untuk menyatakan dengan jelas bahwa ini adalah wilayah teritori republik Indonesia.
Navy Base Surabaya, kekuatan pukul utama
Sementara daratan Natuna, sudah tersedia 1 brigade kombatan gabungan yang terdiri dari 1 batalyon raider, 1 batalyon arhanud, 1 skuadron Penerbad, 1 batalyon marinir dan 1 batalyon paskhas berikut sejumlah alutsista yang menyertainya.  Ada Oerlikon Skyshield, ada Pantsir-S, ada Apache, ada Mi35, ada Astross, ada UAV dan seterusnya.  Tidak tertutup kemungkinan penyediaan tempat bagi sarana labuh dan bekal ulang beberapa kapal perang dan jet tempur negara lain seperti AS dan Australia.

Memperkuat pertahanan di Natuna sesungguhnya bukan untuk melawan Cina tetapi untuk menyatakan sikap secara militer bahwa kita adalah pemilik teritori Natuna secara sah dan tak terbantahkan.  Kita ketahui bahwa keinginan Cina untuk menguasai seluruh teritori laut dan pulau-pulau di LCS (Paracel, Spratly) belakangan ini sangat intensif dan terang-terangan. Perairan yang diklaim itu bersinggungan dengan perairan ZEE Natuna, meski katanya Natuna tidak termasuk.  Tetapi pernyataan diplomatik itu boleh jadi akan melenakan kita jika kita tidak tahu lidah diplomatik tidak bertulang dan boleh jadi di kemudian hari menyemburkan lidah api ke Natuna.

Makanya kita pun bersiap agar Natuna mampu melindungi dirinya dengan konsep sarang lebah.  Angkatan laut dan udara sebagai kekuatan utama akan terus dikembangkuatkan untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan teritori.  Tahun 2018 nanti kita sudah punya setidaknya 5 kapal selam baru dari jenis Changbogo Class dan Kilo Class.  Sementara armada kapal perang permukaan sudah diperkuat dengan beberapa kapal fregat baru dengan persenjataan canggih. Demikian juga dengan angkatan udara, kita sudah punya Sukhoi SU35, tambahan SU30/27 dan F16.

Anggaran militer berbasis PDB tentu akan mampu mengangkat kemampuan dan daya tempur militer kita karena sejatinya kita masih butuh banyak kapal perang pemukul berbagai jenis utamanya fregat, destroyer dan kapal selam.  Kita juga masih butuh beberapa skuadron tempur untuk memperkuat taji kedaulatan udara. Tahun 2018 adalah tahun permulaan hasil karya jelas modernisasi militer kita dan tahun-tahun mendatang setelah itu akan semakin kelihatan postur kekuatan TNI yang sesungguhnya, gahar.

Natuna after 2018 adalah mulai terbangun dan terstrukturnya bentuk sarang lebah pertahanan.  Sudah ada kesiapan menjemput segala ancaman meski tentu saja kita tidak boleh sendirian berhadapan dengan lidah naga.  Kita tetap butuh teman lain yang membenci si juluran lidah naga. Teman itu bisa bernama Jepang, Australia dan AS. Juga Vietnam dan Filipina yang sudah terang-terangan bersengketa dengan juluran si lidah naga.  Andai saja lidah naga itu membatasi julurannya maka konflik di LCS tidak akan separah ini. Tapi apa boleh buat, nasi putih sudah menjadi bubur panas.

Kita harus bersiap karena yang kita hadapi adalah ketidakpastian iklim teritori.  Kalau kita kuat secara militer maka setidaknya ada jaminan percaya diri untuk mempertahankan teritori sembari tetap melakukan terobosan diplomatik.  Diplomasi negara dengan bayang-bayang kekuatan militer diniscayakan akan mampu menimbulkan efek segan dan sungkan pada pihak manapun yang hendak menganggu apalagi mencaplok teritori NKRI.  Jadi perkuatan militer adalah satu-satunya peta jalan yang patut didukung dan diapresiasi.
****
Jagarin Pane/08022016