Friday, March 20, 2015

Memandang Jepang Lalu Bertandang



Selama hayat dikandung badan, perjalanan berpertahanan Indonesia hampir tidak pernah melirik Jepang. Boleh dikata negeri Sakura itu tidak menjadi sebuah harapan bagus utamanya ketika negeri ini sedang bergeliat dengan perkuatan militernya.  Indonesia hanya melirik 2 negara “ras kuning” yang lain yaitu Korsel dan Cina. Dengan Korsel, kita banyak menjalin kerjasama perkuatan alutsista antara lain pengadaan 3 kapal selam Changbogo, pembelian 1 skuadron jet tempur T50, pembelian 22 panser canon Tarantula dan kerjasama teknologi pembuatan jet tempur generasi 4,5 yang dikenal dengan Project KFX/IFX.

Sementara dengan Cina berdasarkan data SIPRI 2015 Indonesia memesan ratusan peluru kendali anti kapal jenis C802 dan C705 untuk puluhan kapal perangnya, serta sangat dimungkinkan mendapatkan alutsista strategis peluru kendali SAM HQ16.  Disamping itu ada kerjasama pertahanan dalam bentuk latihan bersama antar personil antar kesatuan kedua negara dan kerjasama produksi peluru kendali anti kapal C705. Bahkan baru-baru ini Cina menawarkan bantuan milyaran dollar untuk membangun poros maritim Indonesia.

Geliat Jepang dengan membuka “konstitusi diri” yang selama ini dibatasi, untuk mengekspor teknologi persenjataannya disambut hangat negara-negara sekitarnya tak terkecuali Australia dan India.  Vietnam dan Filipina menyambut gembira kepedulian “saudara tua” itu dan sekaligus mengharapkan bantuan pertahanan menghadapi Naga Cina. Jepang juga memiliki konflik teritori dengan Cina di Laut Cina Timur dan Jepang berkomitmen menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan dengan ikut menggelar patroli kapal permukaan dan kapal selam.  Makin seru neh.
Armada Laut Jepang, mulai bangkit bertaring
Jepang adalah sebuah harapan baru bagi perkawanan serius berlabel militer sementara di bidang lain negeri matahari terbit itu sudah membuktikan kehebatannya dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Kesediaan Jepang untuk kerjasama pertahanan dengan RI sekaligus untuk mengimbangi ekspor senjata Korsel kepada Indonesia yang selama 4 tahun terakhir melonjak tajam.  Maka jika kerjasama pertahanan itu diteken setidaknya beberapa pesawat amfibi ShinMaywa US-2, kapal perang kelas Shikishima,Hayabusha atau Fregat dan Destroyer bisa ditampilkan mengawal perairan Indonesia.

Kecerdasan Indonesia adalah menggauli semua pihak yang saling bermusuhan terhadap persoalan Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Musuh bersama negara-negara di kawasan itu adalah Cina sementara kita tidak punya sengketa teritorial dengan Cina meski ada perairan ZEE Natuna yang bertindihan.  Meski begitu sebagai negara netral posisi Indonesia tetap harus mengantisipasi manakala Cina “mengamuk” lalu hantam sana hantam sini. Artinya perkawanan dengan Jepang adalah penguat daya tawar karena Jepang juga sedang bersiap diri memperkuat militernya sekalian mengekspor alutsistanya ke negara sekitarnya.

Itulah yang dibaca, dipelajari kemudian melalui kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Tokyo Jepang minggu depan tanggal 22-25 Maret 2015 akan ditandatangani kerjasama pertahanan dengan Jepang bersama PM Shinzo Abe. Sekedar diketahui  Wapres Jusuf Kalla juga telah berkunjung ke Jepang tanggal 12-17 Maret 2015 yang lalu. Manuver Indonesia melalui kerjasama pertahanan ini tentu akan memberikan “nilai tambah” bagi negeri ini utamanya terhadap Cina. Sebagaimana kita ketahui setelah kunjungan ke Jepang, Presiden Indonesia akan bertolak ke Beijing Cina untuk maksud yang sama, memperkuat kerjasama pertahanan yang sudah berlaku.
Sukhoi Indonesia di Darwin, berlatih bersama
Sebuah bentuk diplomasi yang cemerlang terutama terkait waktu kunjungan, tema kunjungan di kedua negara itu, yang menyiratkan betapa bebasnya negeri ini berkawan dengan siapapun. Ini juga bagian dari strategi RI untuk mengantisipasi kondisi terburuk manakala konflik LCS pecah atau justru menjadikan Cina berhati-hati. Luasnya teritori Indonesia yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan menjadi perhitungan Cina karena Indonesia pemilik ALKI 1 yang strategis bagi jalur perdagangan Cina.  Bisa saja ketika konflik menjadi runyam dan Indonesia memilih ikut bergabung dengan kafilah pembenci Cina lalu bersama kekuatan militer Australia dan AS menutup akses ALKI 1,2,3 kemudian menghantam Cina dari Natuna dan Kalimantan. Semua skenario itu pasti sudah dianalisis Cilangkap dan Pejambon.

Yang jelas ada pacuan kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik yang membentuk dua kutub.  Satu kutub bernama Cina sementara kutub lain adalah aliansi pembenci Cina yaitu Jepang, Korsel, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunai. Dibelakangnya ada AS, Australia, Singapura. Seperti kita ketahui gelar kekuatan militer AS sudah mulai difokuskan ke Asia Pasifik. Lalu dimana posisi Indonesia saat ini.  Yang jelas sejauh ini ada dimana-mana, boleh jadi bisa menjadi mediator alias penengah konflik agar tidak menjadi perang terbuka. 

Namun jika Paman Mao tetap bersikukuh dengan klaimnya lalu menjalar ikut pula klaim Natuna, maka pilihan kita tentu ikut bertarung juga.  Pelajaran yang harus kita antisipasi adalah perebutan sumber daya energi tak terbarukan bisa membuat negara “jagoan” bertindak arogan dan main serbu saja.  Perjalanan ke Jepang itu adalah untuk mengingatkan Cina dan perjalanan ke Cina juga untuk mengajak Cina.  Siapa tahu Shinzo Abe titip pesan ke Jokowi untuk disampaikan kepada Xi Jinping dan bisa jadi Xi Jinping menyambut baik.  Namanya diplomasi, semuanya terbungkus, namanya kerjasama militer semuanya dijelasterangkan agar masing-masing pihak berhitung cermat.
****
Jagarin Pane / 20 Maret 2015