Thursday, July 24, 2014

Menjelang Akhir Pujian Mengalir



Begitulah gambaran perjalanan pemerintahan kita selama sepuluh tahun terakhir ini. Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat maka jalannya pemerintahan sepanjang jalan ceritanya dicecar terus oleh beberapa media vulgar untuk menggiring opini publik seakan-akan jalannya pemerintahan tidak membawa nilai, perbaikan dan pertumbuhan. Tetapi ketika menjelang akhir justru pujian mengalir dari media yang sama pula seiring dengan beralihnya cara pandang dan kepentingan mereka menghujat dari Presiden eksisting ke para Capres yang didukungnya.

Sejak awal kita berpandangan bahwa dalam setiap ide dan tulisan yang kita publikasikan, rangkaian kalimat yang kita sampaikan selalu ingin menyatakan niat khusnuzon.  Tidak ingin berputar pada alinea menyalahkan tetapi pada hasrat yang menggebu untuk menempatkan nilai prestasi pada koridor yang pantas.  Banyak hal yang sudah dicapai dalam perjalanan pemerintahan SBY tetapi apakah hasil itu kemudian bisa dipublikasikan secara proporsional oleh media “independen” kita. Jawab jelasnya tidak.  Yang diberitakan oleh media dengan tanda kutip independen itu lebih banyak publikasi hujatan, prasangka buruk, caci maki dan ejekan diluar batas-batas kepatutan untuk sebuah media berita. Pura-pura independen tetapi sejatinya untuk menyuarakan kepentingan pemilik medianya.
Ikut berperan dalam misi perdamaian dunia
Pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 5 % selama sepuluh tahun merupakan prestasi yang pantas dipublikasikan termasuk peningkatan kesejahteraan.  Kekuatan ekonomi RI menjadi 10 besar dunia dan peningkatan pendapatan perkapita yang signifikan  membuat lembaga keuangan dunia mengapresiasi kepemimpinan SBY. Kepemimpinannya yang penuh perhitungan sehingga dianggap sebagai peragu belakangan baru dipahami sebagai bagian dari strategi kecerdasan untuk membangun harkat dan martabat. Contohnya masalah Ambalat ketika memanas di awal pemerintahan SBY.

Ketika masalah itu sempat mendidihkan adrenalin bangsa ini, Presiden SBY justru melontarkan statemen diplomasinya yang halus dan tidak ingin membakar hasrat bermusuhan dengan Malaysia.  Dia katakan bahwa antara Indonesia dan Malaysia adalah tetangga yang punya banyak kesamaan, disana ada jutaan TKI yang  mencari nafkah, maka segala perselisihan teritorial hendaklah diselesaikan di meja perundingan.  Waktu itu banyak orang yang “gondok” dengan sang Presiden yang ternyata tidak lantang menyanyikan lagu maju tak gentar.

Namun perjalanan berbangsa kemudian membuktikan bahwa Panglima Tertinggi sejatinya “marah besar” dengan polah jiran sebelah yang meremehkan teritori Indonesia. Disamping itu berdasarkan kajian intelijen cuaca di Laut Cina Selatan diprediksi dalam beberapa tahun kedepan akan bergelombang dan membahayakan.  Maka melalui rembug nasional yang melibatkan Kemhan dan Parlemen dibuatlah strategi besar untuk memperkuat militer RI dengan belanja alutsista secara besar-besaran, terbesar sejak era Dwikora.  Disiapkan anggaran US$ 15 Milyar untuk modernisasi militer kita selama tahun 2010-2014 yang dikenal dengan Minimum Essential Force (MEF) jilid satu.
Prajurit Marinir di RIMPAC 2014 Hawaii, meningkatkan harkat dan martabat
Kini setelah rencana besar itu digulirkan lima tahun lalu, hasilnya adalah mengalirnya dengan deras beragam alutsista untuk mengisi satuan tempur hulubalang republik.  Yang lebih membanggakan lagi adalah menggeliatnya industri pertahanan dalam negeri seperti PT PAL, PT DI, Pindad dan industri hankam swasta nasional untuk ikut meramaikan produksi alutsista buatan anak negeri maupun kerjasama produksi dengan negara lain.  Bukankah ini sebuah prestasi untuk meningkatkan harkat dan martabat.  Bayangkan kita sekarang punya 300 Panser Pindad, 12 Kapal Cepat Rudal, 2 LPD, murni produksi anak bangsa. Bukankah itu membanggakan harkat dan martabat.

Penggiringan opini publik memang luarbiasa selama sepuluh tahun ini.  Kebebasan menyuarakan suara miring seakan-akan republik ini menjadi negara gagal sangatlah memalukan.  Ada yang menyebut negeri auto pilot sambil membawa kerbau, bahkan ada yang menyebut negeri ini negeri para bedebah dengan puisi karangannya seakan-akan dialah satu-satunya malaikat, sementara penghuni republik ini setan semua.  Kalau mau diurai terlalu banyak umpatan, caci maki dan ejekan dalam serial pemerintahan menjelang satu dasawarsa ini.

Nah, sekarang ketika pemerintahan ini menjelang tutup buku untuk digantikan pemerintahan yang baru, hujatan itu tak ada lagi berganti dengan sanjungan dan pujian.  Dikatakan bahwa  SBY adalah seorang negarawan, seorang politisi santun yang telah mampu membawa berbagai kemajuan dan kebanggaan untuk negeri ini. SBY adalah jendral cerdas yang perlu dicontoh oleh presiden berikutnya.  Ironi bukan, dunia sudah jauh-jauh hari menyatakan keberhasilan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat itu, baru kemudian pujian itu dilantunkan di pasar media dalam negeri oleh pasar yang sama pula yang dulunya menghujat.

Bagi kalangan militer SBY telah menoreh sejarah emas untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas persenjataan  hulubalang republik termasuk peningkatan kesejahteraan para prajurit. Demikian juga kalangan yang memiliki visi perspektif dan bernaluri khusnuzon, termasuk tetangga kiri kanan sudah sejak lama mengapresiasi kepemimpinannya baik dari sisi kemajuan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, hubungan luar negeri, kecerdasan diplomasi dan perkuatan pertahanan. 

Tidak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan gaya kepemimpinan SBY.  Kesempurnaan hanyalah milik Allah.   Masih banyak yang harus dibenahi untuk negeri majemuk ini, dan bangsa besar ini akan terus berjalan menikmati eksistensi dan pertumbuhannya.  Maka ketika kita memandang dari sisi itu niscaya penilaian proporsional pada akhirnya akan menempatkan nilai Presiden ke enam itu sebagai seorang yang telah mampu mengantar negeri ini ke pintu martabat dan harkat yang jauh lebih baik dan bernilai memuaskan.
****
Jagvane / 24 Juli 2014