Saturday, April 12, 2014

Menyongsong Kogabwilhan



Penghebatan dan pembagusan kekuatan pertahanan RI di era SBY yang akan berakhir beberapa bulan ke depan, akan “dipuncakpasskan” dengan pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Model pertahanan ini adalah komando integrasi matra AD, AL dan AU dalam ruang wilayah masing-masing dengan kemampuan reaksi cepat bersengat lebah jika ada yang berani mengancam dan mengganggu teritori.

Konsep pertahanan seperti ini sejatinya akan mengurai Java Centris dalam pola pemusatan kekuatan militer RI.  Lihat saja selama ini dimana sih alamat Divisi I dan II Kostrad.  Lihat saja dimana lokasi pangkalan utama AL dan komando kekuatan Marinir berada.  Meski beberapa skuadron jet tempur ada di luar Jawa tetap saja pergelaran kekuatan militer dan alutsista ada di jantungnya Indonesia, pulau Jawa.  Bahkan seluruh MBT Leopard dan Tank Marder yang akan datang dalam waktu dekat masih  juga diletakkan di Jawa.
Kesiapsiagaan Marinir Indonesia
Mengingat luasnya wilayah tanah air kita dan untuk merespon cepat pengamanan teritori Indonesia, sangat dibutuhkan model pertahanan wilayah gabungan. Kogabwilhan berbeda dengan Kowilhan yang dibubarkan pertengahan tahun 80an.  Kowilhan lebih berorientasi pertahanan darat meski membawahi Kodau dan Daeral di wilayahnya.  Maklum saja jumlah armada kapal perang hanya berkisar 80an, Marinir hanya 3 batalyon dan alutsista udara semacam pesawat tempur saat itu masih ditumpuk di Jawa dan hanya memiliki 3 skuadron.

Ada pemikiran bahwa lebih baik militer RI memperbanyak dulu jumlah alutsistanya baru kemudian membentuk Kogabwilhan. Mana lebih baik membangun rumahnya lebih dulu baru membeli perabotnya atau membeli perabotnya dulu baru membangun rumahnya. Sebenarnya kalau kita memandang suasana panen raya alutsista tahun ini dan suasana hiruk pikuk di MEF II (2015-2019) nanti maka sudah selayaknya kita bangun rumahnya lebh awal. Karena jika Kogabwilhan dibangun tahun ini maka isian perabotnya dalam rentang 5-10 tahun akan segera terisi dan terdistribusi.

Dengan berasumsi bahwa angggaran pembelian alutsista di MEF II mencapai US $ 20 milyar maka isian alutsista selama lima tahun ke depan diyakini akan mampu menampung kebutuhan perabotan rumah Kogabwilhan meski belum ideal. Jika diprediksi target pemenuhan kebutuhan alutsista Kogabwilhan adalah sampai tahun 2024 (MEF III) maka kebutuhan perabotan ideal itu akan terpenuhi.  Salah satu indikator pendukungnya yang mesti dipenuhi adalah peningkatan belanja senjata alutsista dari US $15 milyar di MEF I menjadi US $ 20 milyar di MEF II dan US $ 28 milyar di MEF III.  Angka-angka ini sangat realistis sejalan dengan perjalanan peningkatan kekuatan ekonomi dan kesejahteraan kita.
Jet tempur T50 Golden Eagle TNI AU
Itu sebabnya pesan jelas untuk pemerintahan yang baru nanti jangan mematahkan tunas yang sudah tumbuh.  Jangan memutuskan skenario MEF apalagi menganggap MEF itu hanya menghabiskan anggaran negara.  Justru yang mulai dipikirkan dan dieksekusi sekarang adalah mengurangi subsidi energi yang jumlahnya sudah mendekati titik didih alias membahayakan karena membebani Purchase Power bangsa ini. Kondisi dinamis kawasan, perebutan sumber daya energi fosil dan persaingan hegemoni AS versus Tiongkok sudah bermain di panggung Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan.  Tidak boleh ada inkonsistensi dalam program MEF.

Natuna yang diyakini akan masuk Kogabwilhan I membutuhkan 1 skuadron jet tempur.  Demikian juga Biak yang segala fasilitasnya telah lebih dulu ready for use harus segera diisi dengan 1 skuadron jet tempur untuk mengamankan wilayah udara timur NKRI.  Tak ketinggalan Kupang juga harus disediakan 1 skuadron jet tempur untuk “mengimbangi” lalulintas militer di seberang halaman depannya, Darwin.  Dengan begitu kebutuhan perkuatan matra udara pada MEF II minimal ada tambahan 3 skuadron disamping pergantian skuadron jet tempur F5E Tiger.

Demikian juga dengan matra laut.  Tambahan pasti 3 kapal selam Changbogo di MEF II jelas masih kurang.  Bukankah pada periode itu 2 kapal selam Cakra Class sudah semakin sepuh.  Kita ingin menyampaikah unjuk rasa kuat (sembari mata melotot), jangan mencla mencle dalam program paralelisasi pengadaan kapal selam.  Untuk rentang waktu sepuluh tahun ke depan kita masih perlu kapal selam dari kelas selain Changbogo untuk menghantarkan kekuatan laut berlabel disegani.  Termasuk juga penambahan kapal kombatan permukaan kelas korvet dan fregat untuk pengisian armada wilayah.
Aktif mengirimkan UN Peace Keeping
Pulau Jawa tetap merupakan instrumen utama pertahanan. Apalagi jika melihat semakin jelasnya perkuatan persekutuan militer negara asing di Darwin, Christmas dan Cocos yang semua lokasi itu dekat dengan Jawa.  Kogabwilhan Jawa tentu adalah segala-galanya.  Itu sebabnya jika skuadron F5E diganti dengan jet tempur kelas berat Sukhoi SU35 akan menjadi payung udara utama pulau Jawa.  Ancaman terberat Jawa berasal dari selatan. Maka selain Sukhoi SU35 harus ada perkuatan armada laut berkualifikasi fregat dan destroyer serta kapal selam laut dalam yang mengawalnya.

Itulah gambaran perkuatan alutsista MEF II sembari kita membangun struktur Kogabwilhan tahun ini. Gambaran itu saat ini sudah berbentuk patron dan potongan kain.  Tinggal kita menjahitnya satu persatu sehingga lima tahun ke depan kita sudah bisa memakainya dan “memamerkannya” pada tetangga sebelah.  Maksudnya  kita sudah punya baju baru untuk hulubalang yang layak sandang dan layak pandang. Karena sudah layak sandang dan layak pandang tentu penampilan baju militer ini akan mampu memberikan energi dahsyat kekuatan diplomasi RI ke segala arah.  Kecerdasan diplomasi dengan baju militer yang kuat diniscayakan akan mampu meminimalisir niat jahat kekuatan asing terhadap kue teritori yang bernama NKRI.
****
Jagvane / 12 April 2014