Friday, June 7, 2013

Mengerasnya Sikap Cina



Mestinya kan dalam setiap dialog selalu dikumandangkan nada-nada yang menyejukkan meski ada dalam posisi berseberangan.  Hati boleh panas tetapi kepala tetaplah dingin. Tetapi yang terjadi dalam penutupan Shangri-La Dialogue di Singapura Senin 3 Juni 2013, Cina melalui pernyataan ketua delegasinya Letjen Qi Jiangguo melontarkan kalimat tak bersahabat: Laut Cina Selatan (LCS) adalah bagian dari teritori kami, maka Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) akan mengerahkan kapal perang untuk mengamankannya.

Itulah gaya high profil Cina yang sudah mulai menunjukkan kekuatan imperium sejarahnya. Sudah tak mengirim Menhannya sebagai bagian dari tradisi tatakrama dalam pertemuan tingkat tinggi keamanan Asia  ke 12 yang diselenggarakan IISS (Institut Internasional Studi Strategik) alias Shangri-La Dialogue,pernyataan itu jelas mencerminkan mengerasnya sikap Cina atas klaim Laut Cina Selatan. IISS adalah pertemuan tahunan keamanan bergengsi yang menghadirkan 31 Menteri Pertahanan di Asia Pasifik termasuk Jepang, Australia, AS, Perancis, Kanada dan Inggris.

Sebelumnya jelang penutupan,Singapura yang menjadi tuan rumah “permanen” pertemuan para menteri pertahanan itu mendukung usulan Menhan Vietnam agar negara-negara yang mengklaim teritori LCS menandatangani sebuah perjanjian yang berisi agar pengerahan kekuatan bersenjata sebagai upaya terakhir dalam menangani setiap konflik LCS. Usulan itu disampaikan dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Brunai 24 April 2013. Dengan kata lain ASEAN berharap Cina tidak melakukan show of force angkatan laut sebagaimana yang selalu ditunjukkannya selama ini.
Peta Sengketa Laut Cina Selatan
Empat negara ASEAN berselisih wilayah laut dengan Cina di LCS, yang enam lagi sih tidak.  Tetapi semangat kebersamaan ASEAN yang menginginkan “dinginnya suhu LCS” tentu merupakan kebutuhan bersama terutama untuk lalulintas Asia Pasifik yang punya kecemerlangan ekonomi di masa depan. Semangat mendinginkan suhu adalah bagian dari upaya untuk menjaga kematangan emosi diplomatik, keseimbangan nilai dan harga diri masing-masing negara yang satu sama lain punya ketergantungan hubungan ekonomi internasional.  Oleh sebab itu mestinya Cina bisa menjaga suhu shaolin nya untuk tidak mengumbar kung fu berlagak seperti Israel yang dengan kekuatan militernya mencaplok wilayah Arab Palestina.

Jika Cina masih terus melakukan unjuk kekuatan angkatan lautnya, maka bisa jadi negara-negara ASEAN mempersilakan AS mengirimkan herder pasifiknya ke kawasan itu.  Habis capek juga kan menghabiskan energi diplomatik untuk mengajak Cina berlaku etis dalam Code of Conduct tapi yang diajak ngomong menyepelekan. Perilaku Cina ini seperti menabur benih menuai badai, mempersempit ruang kebagusan dirinya dalam tata cara bergaul dan menampilkan diri. Jangan hanya karena keberhasilan dalam pembangunan ekonomi dan perkuatan milter yang bergizi ofensif lalu menganggap lingkungannya seperti pelanduk tak berdaya.  Para pelanduk itu bukanlah sekumpulan keledai yang mudah dibodohi apalagi di didikte.  Bahkan salah satu pelanduk telah mengadu kepada gajah yang selama ini menjadi sekutunya.

Jepang yang juga bersengketa batas laut dengan Cina mengajak ASEAN  mempertimbangkan kerjasama pertahanan seperti yang diungkap dalam pertemuan bidang pertahanan ASEAN-Jepang di Tokyo 13 Maret 2013 yang lalu.  Ini juga salah satu curhat kebencian negeri Sakura kepada Cina yang dipertunjukkan dalam mekanisme prakarsa diplomatik.  Maka jika ditarik garis “bermusuhannya”  Cina berhadapan dengan lawan dari Timur sampai Selatan, Jepang, Taiwan dan beberapa negara anggota ASEAN.

Posisi cantik yang diperlukan Indonesia dalam bingkai LCS ada dua yaitu kecerdasan dalam berdiplomasi dan memperkuat militernya sebagai payung pengaman teritori menghadapi kondisi terburuk.  Inilah kesempatan paling bagus bagi RI untuk memainkan peran kecerdasan diplomatiknya terutama untuk mengajak Cina mengurangi libido show of forcenya.  Kekakuan Cina ini memang merupakan bagian dari tabiat kesehariannya karena tak terbiasa dengan perbedaan cara pandang, tidak terbiasa dengan demokrasi. Sesungguhnya RI berada dalam posisi netral karena tidak bersengketa LCS dengan Cina.  RI punya hubungan manis dengan Cina.  RI juga punya hubungan akrab dengan saudaranya sesama ASEAN dan Jepang, demikian juga dengan AS. 

Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel dalam  pertemuan Shangri-La ini secara khusus mengundang Menhan RI ke AS dan mengundang para Menhan ASEAN untuk bertemu tahun depan di komando pasifik AS di Hawaii.  Ini menunjukkan posisi kunci dan strategis Indonesia. Posisi ini sesungguhnya merupakan keunggulan tak tergantikan yang sangat memungkinkan RI memberikan kontribusi besar bagi jalannya perundingan sengketa LCS.  Tinggal bagaimana para diplomat kita termasuk RI-1 bisa memainkan peran itu secara profesional dan elegan. Sejalan dengan itu perkuatan milter kita harus terus ditumbuhsuburkan karena sesungguhnya kekuatan militer itu adalah kewibawaan dalam perjalanan diplomatik sebuah negara.
****
Jagvane/ 07062013