Saturday, January 14, 2012

Ada “Demokrasi” Dalam Pengadaan Alutsista

Bicara dana alutsista diluar spek teknisnya adalah bicara tentang manisnya gula sehingga ramai-ramai para semut mendatanginya.  Ada semut bule, ada semut ireng, ada semut hidung mancung, ada juga semut berwajah makelar. Bayangkan saja dengan kucuran dana 150 trilyun untuk masa lima tahun ini, berbagai jenis alutsista didatangkan ke markas brigade dan batalyon TNI.  Proses mendatangkan alutsista itu yang sejatinya membuat banyak semut berdatangan untuk ikut mencicipi manisnya gula alutsista.
Belum hilang dari ingatan kita ribut soal F16 misalnya apakah harus beli baru blok 52 sebanyak 6 biji atau menerima hibah 24 F16 jet second lalu di upgrade jadi setara blok 52.  Betapa riuhnya suasana “demokrasi” antara Komisi I DPR dengan Pemerintah.  Argumen yang dilontarkan sebagian kalangan parlemen di komisi itu terkesan emosional daripada rasional. Gaya bicara mereka seakan merasa lebih tahu dari Usernya, lalu mematok definisi lebih baik memilih beli baru 6 biji F16 dengan alasan lebih menggentarkan.  Maka cecak pun berdecak kagum dengan ketololan itu.  Bagaimana mungkin dengan 6 biji F16 baru itu bisa menggentarkan, padahal Singapura sudah punya 60 biji F16 blok 52 dan 24 F15 seri terbaru.  Pantas saja cecak pun berdecak.
Tank Leopard 2 yang digadang-gadang itu
 Meski  akhirnya usulan pemerintah untuk menerima hibah upgrade 24 F16 dari AS disetujui juga setelah melalui jalur ngambek karena ngembeknya tak digubris, toh simulasi demokrasi konyol yang dipertontonkan itu menjadi catatan tersendiri bagi rakyat cerdas sembari bergumam, apa memang iya itu suara hati rakyat, atau hanya suara mereka sendiri, atau ada suara lain yang dititipkan melalui suara anggota dewan.  Argumen yang dikedepankan sebagian anggota Komisi I tidak mencerminkan kualitas intelektual, lebih merefleksikan sikap asal bisa beda supaya kelihatan lebih menonjol “kualitas akunya”.
Kini isu terbaru bergulir lagi.  Kali ini tentang pengadaan 100 unit MBT (Main Battle Tank) Leopard 2 yang sudah digagas, dibicarakan lugas oleh KSAD, Mabes TNI dan Kemhan.  Bergegas pula mengunjungi negara pemiliknya yang memang mau menjualnya.  Lalu tiba-tiba saja ramai yang membicarakan pantas tidaknya MBT itu untuk tanah airku ini.  Kan jadi lucu kalau alasannya masalah bobot, tidak sesuai dengan kontur bumi nusantara, atau alasan lain mau perang dengan siapa, atau alasan yang dicari lagi, sepenting itukah MBT.
Sekali lagi rakyat cerdas harus bisa menangkap bahwa hiruk pikuk yang mengatasnamakan demokrasi itu boleh jadi adalah pesanan makelar alutsista jenis lain atau dari pabrik lain atau bisa saja pesanan dari negara lain agar kita tak usah beli MBT, atau kalaupun mau beli jangan yang Leopard. Intelijen makelar senjata bisa menyuarakan dirinya melalui orang dewan atau LSM  bahkan media yang tentu saja harus melalui “terowongan jalur gaza” agar tak ketahuan pamrihnya.  Melalui tangan orang lain yang punya gigi dimulailah kampanye anti MBT, atau kampanye anti Leopard, dengan harapan syukur-syukur ada perubahan merk sesuai keinginan makelar salesman tadi.
Pertanyaan substansinya adalah siapa yang lebih tahu dengan keunggulan satu jenis alutsista, ya tentu si User sendiri.  TNI AD butuh Leopard bukan karena bujuk rayu pabrikan Leopard, tetapi sudah melalui proses waktu dan kajian mendalam. Sangat kebetulan harganya lebih murah dari bandrol biasa.  Logikanya sederhana, diantara semua jenis MBT yang dianalisis, berdasarkan kajian teknis dan kegunaan terpilihlah Leopard, dan itu sudah lama dipendam.  Lalu ada dana untuk alokasi alutsista angkatan darat, maka dimulailah penjajakan dengan mengunjungi negara produsen.
Konvoy Tank AMX 13 Milik Batalyon Kav Tank Ambarawa
Kita  kadang merasa “lucu hati” dengan tingkah dan gaya anggota dewan yang merasa menjadi seperti tuhan untuk menentukan keputusan berdasarkan selera dia dan atau selera makelar alutsista yang joint venture dengan dia.  Bajunya pasti demokrasi, capnya parlemen, atas nama rakyat katanya.   Masih ingat dalam benak kita anggota dewan koar-koar bahwa border RI dicaplok Malaysia di kawasan Tanjung Datu Kalbar.  Publik merasa terbawa arus pernyataan itu tetapi terbukti kemudian tertipu dengan statemen itu yang jelas-jelas tak benar.  Lalu setelah semuanya diluruskan dan diputihkan karena  memang tak ada yang salah dengan border itu, si anggota dewan sedikit pun tak mampu mengucapkan kata maaf.  Ya itu tadi karena dia sudah merasa seperti tuhan, paling benar dalam segala hal.  Merasa menjadi pemilik rumah demokrasi sementara yang lainnya hanya mengontrak.
Hiruk pikuk dengan tema Alutsista biar kelihatan seperti berdemokrasi sebenarnya ada dasar hukumnya yaitu UUD maksudnya ujung-ujungnya duit. Makelar Alutsista bisa meminjam tangan berbagai pihak tak terkecuali tangan internal TNI dan Kemhan agar jualannya dibeli.  Hukum ekonomi alutsista ini sudah berlaku umum di berbagai negara di bumi ini.  Namanya juga salesman pasti berbagai cara ditempuh untuk mencapai goalnya.  Tak perlu diperdebatkan, kajian dari pihak pengguna lah yang menentukan jenis alutsista yang seperti apa yang hendak dibeli. 
Maka jika MBT dari jenis Leopard 2 yang terpilih selayaknya kita mendukung.  Yang perlu dikritisi adalah prosedur pengadaannya, tranparansi proses, kualitas barang yang akan diterima, kewajaran harga dan pola bayarnya.  Jadi agak sumbang terdengar ketika TNI AD butuh MBT Leopard lalu ada suara gentayangan di telinga membisikkan hasutan, kita tak perlu MBT karena bisa ambles, jangan pilih Leopard karena tak cocok dengan iklim kita.  Lebih baik beli yang ini atau pakai yang itu.  Nah ketahuan kan siapakah dia yang umbar omongan itu.
*******
Jagvane / 14 Januari 2012